Pola distribusi Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan beberapa jenis kucing di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan antara tahun 2002 – 2003
Filed under: Info Penting - pamanahrasa @ 7:26 am
Pendahuluan
Sejak dahulu, harimau selalu dianggap oleh manusia sebagai satwa yang amat mengagumkan. Harimau juga merupakan karnivora tingkat tinggi yang secara tingkah laku fleksibel dan dapat berdaptasi dengan mudah terhadap perubahan bentang alam (Sunquist et al. 1999). Sebagai pemangsa khusus herbivore, harimau tidak pernah ditemukan jauh dari air namun memperlihatkan sifat adaptasi besar terhadap lingkungan tempat hidupnya dengan iklim yang berbeda-beda, mulai dari daerah tepi pantai hingga daerah dengan ketinggian 2000 meter (Seidenstictiker et al. 1999).
Populasi tertinggi harimau terdapat di Asia, di tanah berumput dan hutan membentuk mosaike. Meskipun penyesuaian ekologinya fleksibel, harimau terancam kritis di seluruh wilayah jelajahnya. Dalam 60 tahun terakhir, dua dari tiga anak jenis endemik harimau Indonesia (Panthera tigris) telah punah (Seidensticker et al. 1999). Harimau Bali (P.t. balica) dan harimau Jawa (P.t. sondaica) lenyap dari pulaunya masing-masing terutama karena penyusutan dan fragmentasi habitat secara drastic. Namun, bagaimanapun juga penurunan populasi mangsa yang telah kritis dan pembunuhan harimau secara langsung mungkin menjadi penyebab akhir kepunahan kedua anak jenis tersebut (Seidensticker 1987).
Anak jenis ketiga, harimau Sumatra (P.t.sumatrae) bertahan dalam populasi yang terisolasi dan terpecah-pecah di seluruh pulau Sumatra. Harimau Sumatra mengalami berbagai ancaman yang saat ini dihadapi jenis-jenis harimau lain di seluruh wilayah jelajahnya, seperti juga yang pernah dihadapi anak jenis Jawa dan Bali. Berbagai ancaman tersebut antara lain adalah penangkaran langsung untuk diambil bagian-bagian tubuh harimau dan obat tradisional, hilangnya satwa mangsa melalui kompetisi langsung maupun tak langsung dengan masyarakat setempat, konversi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat harimau dan mangsanya, serta meningkatnya konflik antara harimau dengan manusia yang memungkinkan pemindahan harimau-harimau bermasalah secara sah (Santiapillai dan Ramono 1987; Dinerstein et al. 1997; Seidensticker et al. 1999). Pengaruh kepadatan penduduk berakibat terhadap penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas tingkatan ancaman-ancaman tersebut terhadap keberadaan jangka panjang harimau Sumatra.
Semua populasi harimau menghadapi tekanan yang hebat akibat musnahnya habitat dan mangsa mereka serta adanya perburuan (Kitchner. 1999). Banyak jenis satwa mangsa harimau yang secara normal memanfaatkan areal tepi tersebut dihalangi oleh kepadatan penduduk yang tinggi di sekitar taman nasional dan akan makin mudah diserang untuk diburu di daerah perbatasan (O’Brient et al. 2002).
Analisa SIG menunjukan bahwa konversi hutan yang sangat berat terjadi di bagian tengah dan utara taman nasional, areal dengan kepadatan penduduk tinggi. Menurut O’Brient et al. (2002) dapat disimpulkan bahwa luas habitat di dalam TNBBS yang tersedia untuk mammalia besar, seperti harimau menyusut melebihi proporsi dan kehilangan habitat menyebabkan satwa liar lebih mudah di serang ditepi hutan.
Konversi hutan untuk perkebunan di perbatasan kawasan meningkat tajam sejak sepuluh tahun yang lalu; WCS memperkirakan 28% tutupan hutan telah hilang sejak tahun 1985. Dengan asumsi bahwa harimau membutuhkan tutupan hutan di TNBBS dan areal tebangan hutan mewakili habitat tepi maka perkiraan jumlah konservatif harimau 40 – 45 ekor di TNBBS (O’Brient et al 2002).
Usaha konservasi harimau diwilayah yang berubah secara konstan dan banyak dipengaruhi oleh manusia ini, mendorong kita untuk memahami batas dan kemapuan binatang (Sunguist et al 1999). Pada tahun 1992, Indonesia mulai meningkatkan upaya untuk melindungi harimau Sumatra. Pada tahun 1994 Indonesia mengembangkan strategi untuk konservasi harimau (Dep. Kehutanan 1994) yang mengamanatkan aksi berdasarkan pemahaman ekologi harimau secara menyeluruh, tetapi hingga saat ini masih sedikit penelitian mengenai status populasi harimau liar di Sumatra (Franklin et al 1994).
Pada bulan September 1998 WCS-IP menginisiasi survey harimau dan mamalia secara sistematik dengan menggunakan camera trap. Survey yang baru pertama kalinya dilakukan di TNBBS ini dilakukan dengan tujuan untuk memantau distribusi harimau Sumatra dan satwa mangsanya. Dalam memasuki tahun keenam, program konservasi harimau Sumatra telah berhasil mengestimasi kapadatan harimau Sumatra dan satwa mangsanya serta melihat pengaruh batas taman nasional terhadap kepadatannya. Memasuki tahun 2002, program konservasi menjadi lebih kuat dan terarah. Dalam laporan ini, program kelanjutan monitoring harimau Sumatra bertujuan untuk melihat perubahan pola distribusi antara 2002 dan 2003
Metode
Areal Penelitian
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan konservasi terbesar ketiga (3.568 km2) di Sumatra (Gambar 1). Berlokasi di ujung barat daya (40 31’ – 50 57’ LS) dan (1030 34’ – 1040 43’ BT), TNBBS terbentang dari propinsi Lampung ke Bengkulu merupakan hutan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatra dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air utama bagi Sumatra bagian barat dan selatan. TNBBS dibatasi oleh perkampungan, perkebunan tanaman pertanian dan kelapa sawit. Bentuknya yang tipis memanjang menciptakan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 km dan perambahan untuk penebangan dan perkebunan menjadi masalah utama. Dua jalan lintas membagi taman nasional di sebelah utara dan selatan (O’Brient dan Kinnaird 1996).
Camera Trapping
Kami melakukan survey harimau dan mangsanya dengan menggunakan camera trap (Cam Trakker South Inc. Watkinsville GA 30677). Kamera Cam Trakker menggunakan sensor infra merah pasif untuk mendeteksi panas tubuh dan pergerakan satwa yang melintas di depan sensor. Sensor terhubung pada kamera autofocus 35 mm dengan tempat menyimpan data pada kamera yang mencetak setiap foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Setiap unit di program untuk merekam gambar dengan selang waktu 45 detik dan beroprasi 24 jam/hari atau hingga film terpakai seluruhnya.
Kamera diletakan di dalam petak contoh seluas 10 km x 2 km memanjang dari batas kawasan/ hutan kearah dalam taman nasional untuk mendeteksi pengaruh potensial tepi kawasan terhadap mamalia. Masing-masing blok sampling di bagi menjadi 20 anak petak seluas 1 km2, dan koordinat UTM dipilih secara acak di dalam setiap anak petak. Satu buah camera trap diletakan pada lokasi yang optimal (sedapat mungkin pada jalur yang dipakai satwa) di dalam radius 100m dari koordinat UTM dengan menggunakan GPS Sylva (Multy Navigation aco 0007706) kamera dibiarkan dalam keadaan aktif 30 – 35 hari.
Independent event
Independent event adalah jenis satwa (individu atau kelompok) yang terekam di satu frame foto dalam satu rol film juga dalam satu blok sample. Untuk setiap jenis yang terfoto kemudian dihitung indeks biologinya berdasarkan jumlah foto independent per hari rekam. Hari rekam adalah jumlah periode 24 jam selama kamera aktif di dalam suatu petak sample.
Statistik
Untuk penghitungan data dengan statistik SPSS 11,5 (regresi )
Hasil
Sejak tahun 1998 hingga 2003 (sekarang), program konservasi harimau Sumatra dengan camera trap telah mencatat 40 jenis mamalia dari 19 Famili dan 7 jenis burung termasuk 5 jenis Famili Phasianidae dan 1 jenis herpetofauna (biawak Varanus sp).
Dari data yang dihasilkan terlihat bahwa kelimpahan relatif harimau tahun 2002 tertinggi berturut-turut di bagian selatan berkisar antara 0 - 0,03 foto/5596,92 hari rekam, utara antara 0 - 0,01 foto/5596,92 hari rekam` dan tengah berkisar antra 0 - 0,01 foto/5596,92. Sedangkan untuk kepadatan relatif harimau tahun 2003 terlihat perbedaan perolehan tertinggi dimulai dari bagian tengah berkisar 0 - 0,05 foto/5172,16 hari rekam, utara antara 0 - 0,04 foto/5172,16 hari rekam dan dibagian selatan kawasan antara 0 - 0,02 foto/5172,16 hari rekam.
Ditahun 2002 kami mendapat 6 foto harimau (P.t.sumatrae) di lokasi sample. Harimau (P.t.sumatrae) lebih sering terfoto di (bagian selatan) Pemerihan (4 ekor), 1 ekor di Way marang (tengah) dan 1 ekor di T. Iman (utara). Pada tahun 2003 kami mendapat foto harimau di Liwa (2 ekor), Rataagung (3 ekor), Pulau beringin (3 ekor), serta Way belambangan dan Way paya masing-masing (1 ekor). Ini berarti untuk tahun 2003 harimau lebih sering terfoto dibagian tengah dan utara kawasan.
Penyebaran harimau di tahun 2002 juga diikuti oleh penyebaran satwa mangsanya : beruk, babi hutan, kijang muntjac, tapir dan kuau raja dan landak, kalau dilihat di tahun 2003 jenis satwa mangsa yang mengikuti penyebaran harimau : beruk, tapir, babi, kijang muntjac, kuau raja, rusa sambar dan total moese deer (Tragulus napu & Tragulus javanicus).
Kelimpahan relatif satwa mangsa di seluruh taman nasional
Kami berhasil merekam 40 jenis satwa termasuk 9 jenis satwa mangsa harimau, dari semua hasil rekaman foto tersebut kami juga mengidentifikasi beberapa jenis mangsa potensial lainnya seperti satwa : ayam hutan, kuau kerdil Sumatra, sempidan Sumatra, puyuh dan juga satwa pengerat : rindil bulan dan bajing tetapi kami tidak memasukannya kedalam analisis karena satwa tersebut kecil (umumnya kurang dari 1 kg).
Dari table (1) kelimpahan satwa mangsa tahun 2002 dapat dikatakan kelimpahan relatif satwa mangsa berkisar : kuau raja 0,1 – 0,22 foto/5596,92 hari rekam, monyet ekor panjang 3,36 – 10,67 foto/5596,92 hari rekam, total mouse deer 0,01 – 0,06 foto/5596,92 hari rekam, kijang muntjac 0,26 – 0,59 foto/5596,92, babi 0,11 – 0,23 foto/5596,92 hari rekam, beruk 0,12 – 0,32 foto/5596,92 hari rekam, landak 0,19 - 0,26 foto/5596,92 hari rekam, tapir 0,04 – 0,13 foto/5596,92 hari rekam dan rusa sambar 0,06 – 0,28 foto/5596,92 hari rekam. Untuk kelimpahan relatif satwa mangsa pada tahun 2003 berkisar : kuau raja 0,11 – 0,62 foto/ 5172,16 hari rekam, total mouse deer 0,01 – 0,14 foto/5172,16 hari rekam, kijang muntjac 0,07 – 0,82 foto/5172,16, babi 0,04 – 0,91 foto/5172,16 hari rekam, beruk 0,11 – 0,39 foto/5172,16 hari rekam, landak 0,1 - 0,99 foto/5172,16 hari rekam dan tapir 0,03 – 0,11 foto/5172,16 hari rekam.
Jenis satwa mangsa harimau di tahun 2002 total mouse deer sedikit terekam di blok utara dan tidak terdata di blok tengah sementara rusa sambar sedikit terekam di bagian tengah dan tidak terdata di blok utara. Untuk jenis satwa mangsa harimau tahun 2003 di blok tengah sangat sedikit jenis mangsa yang terekam : babi, kijang muntjac, total mouse deer dan landak sedang bagian utara jenis satwa yang sedikit terekam total mouse deer.
Dari hasil perhitungan kelimpahan relatif harimau menunjukan korelasi positif dengan kelimpahan relatif kijang muntjac (R2 = 0,861 ; t = 6, 591 ; df = 1,7 ; P < 0,001) artinya penyebaran kijang muntjac sebagai satwa mangsa harimau sesuai atau diikuti oleh penyebaran harimau sebagai pemangsa, sekaligus dapat dikatakan pola tersebut menggambarkan bahwa kelimpahan dari jenis satwa mangsa lainnya menurun atau tidak diikuti pola penyebaran harimau sebagai satwa pemangsa (predator) di tahun 2002. Untuk tahun berikutnya (2003), setelah dilakukan penghitungan ternyata data kelimpahan relative harimau terhadap kelimpahan relatif satwa mangsanya tidak dapat dikomputasikan ini disebabkan banyak data satwa mangsa yang kurang di banyak blok sample dan hal ini yang mempengaruhi perhitungan secara statistik. Beberapa alasan lain yang dapat mendukung seperti dalam penggunaan metode random, titik peletakan kamera sering menjadi tidak maksimal (tidak terdapat jalur satwa atau habitat yang telah rusak) sehingga menyebabkan beberapa jenis satwa kelompok sering berada diluar areal survey utama.
Kelimpahan relatif harimau dengan jenis kucing lainnya
Dari data kelimpahan relatif harimau dan jenis kucing lainnya (table 3) dapat kita lihat di tahun 2002 penyebaran harimau dari utara ke selatan terlihat tidak terpengaruh dengan adanya penyebaran dari jenis kucing lainnya seperti : macan dahan, kucing emas dan kucing kuwuk. Ini berarti keberadaan jenis kucing lain bagi harimau dapat dikatakan tidak berpengaruh atau tidak terlihat adanya kompetisi baik terhadap pakannya dan juga terhadap daerah jelajahnya, karena antara harimau dan diantara jenis-jenis kucing lain ada pembagian ruang dan waktu yang jelas untuk menjelajah, mencari makan, berpasangan dan kawin. Demikian kalau kita lihat data dari table (3) tahun 2003 penyebaran harimau cukup merata di daerah utara, tengah dan selatan TNBBS.
Pembahasan
Dari data yang dihasilkan tahun 2002 penyebaran harimau tertinggi bermula dari sample bagian selatan, utara kemudian ke tengah, dan untuk data tahun 2003 penyebaran harimau tertinggi dimulai dari sample tengah kemudian ke utara dan berakhir di selatan. Dan kami tidak menemukan adanya perbedaan – perbedaan yang nyata pada kelimpahan relatif harimau dari selatan, tengah dan utara kawasan TNBBS.
Kelimpahan relatif harimau tahun 2002 menunjukan nilai korelasi positif dengan jenis satwa mangsanya yaitu kijang muntjac sehingga dapat dikatakan pola penyebaran harimau di TNBBS mengikuti pola sebaran satwa mangsanya, sedangkan ditahun 2003 kami tidak dapat menemukan korelasi antara harimau dan satwa mangsanya, sehingga kami tidak dapat mengatakan bahwa pola penyebaran harimau di TNBBS juga mengikuti pola penyebaran satwa mangsanya.
O’Brient et al (2002) mengatakan kelimpahan relatif harimau terhadap jumlah kelimpahan relatif babi dan rusa sambar adalah bermakna dan positif (RA harimau = 0,019 + 0,043 (RA babi + rusa sambar), T = 3.72, P = 0,045). Efek tepi adalah nyata untuk kijang muntjac (F7,36 = 2.71, P = 0.023) dan kancil (F7,36 = 3.312, P = 0.008). Kedua jenis tersebut lebih banyak dijumpai pada jarak 0 – 1 km dari batas kawasan, namun juga sering dijumpai di daerah contoh dengan kepadatan penduduk rendah. Karanth dan Sunquist (1995) berpendapat satwa pemangsa besar akan memilih, satwa mangsanya yang lebih besar pola pemangsaan yang tidak selektif pada hutan tropika mungkin disebabkan oleh kelangkaan satwa mangsa besar.
Masih ada pola pembagian ruang dan waktu yang baik diantara 6 jenis keluarga kucing (Panthera tigris sumatrae, Neofelis nebulosa, Felis marmorata, Felis bengalensis, Felis viverinus dan Felis temmincki) di TNBBS, walaupun terlihat hanya beberapa jenis kucing (Neofelis nebulosa, Felis temmincki, Felis marmorata dan Felis bengalensis) yang mengikuti pola penyebaran harimau didalam blok sample dari selatan, tengah dan utara.
Dari data independent event (2002 & 2003), ditemukan harimau dalam satu lokasi (Rataagung & Liwa) juga dalam satu no film dengan jenis kucing lainnya (kucing emas dan macan dahan) tetapi tidak pernah dalam tanggal yang sama. Pola pembagian ruang dan waktu antara jenis kucing masih jelas terlihat, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan sosial seperti bergerak, istirahat, berburu mangsa, makan, berpasangan, kawin dan mengasuh anak, sebab secara umum harimau jantan mempunyai daerah teritori yang dipertahankan dari jantan lainnya, namun jantan lain diperbolehkan untuk melewatinya. Brahmachary (1979) harimau menandakan daerahnya dengan bau-bauan dari air seninya (urine) dan cakaran. Sehingga penandaan teritori dengan tanda berupa bau-bauan dari air seni (urine) dan cakaran oleh harimau dengan prilaku ini maka pola pembagian ruang dan waktu bagi jenis kucing lainnya bertambah jelas.
Pengaruh kepadatan penduduk berakibat dengan penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas hilangnya habitat, faktor tambahan ini juga memicu hilangnya harimau berikut beberapa jenis satwa mangsanya di TNBBS selain dari perburuan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat lokal dan oleh pemburu professional yang juga melibatkan aparat penegak hukum. Woodrooffe dan Gisberg 1998 (dalam O’Brient et al. 2002) menyatakan bentuk TNBBS yang tipis memanjang mempermudah akses penduduk ke dalam taman nasional dan memungkinkan harimau untuk bergerak di sepanjang perbatasan dimana resiko penangkapan meningkat, lebih lanjut dikatakan banyak jenis satwa mangsa harimau yang secara normal memanfaatkan areal tepi tersebut dihalangi oleh kepadatan penduduk yang tinggi di sekitar taman nasional dan akan makin mudah diserang untuk diburu di daerah perbatasan.
Kesimpulan
1. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelimpahan relatif harimau dari selatan ke utara, dan juga secara umum penyebaran harimau masih diikuti oleh pola penyebaran satwa mangsanya.
2. Masih ada pembagian ruang dan waktu (niche ekologi) antara harimau dan jenis kucing lainnya di dalam kawasan TNBBS, dengan bukti terekamnya foto harimau dengan jenis kucing lainnya (kucing emas dan macan dahan) dalam satu no film di satu lokasi sample.
3. Menghentikan dan menindak bagi siapa yang melakukan pembukaan lahan di dalam kawasan TNBBS baik untuk ladang, pertanian maupun tempat tinggal, karena pembukaan hutan secara liar akan membuat satwa liar khususnya harimau dan satwa mangsanya akan terpecah – pecah dan akan mengakibatkan terjadinya konflik satwa liar dengan manusia.
4. Menghentikan dan menindak bagi siapa saja yang melakukan perburuan harimau dan satwa mangsanya di dalam kawasan TNBBS, karena melindungi harimau berikut satwa mangsanya berarti kita mempunyai investasi yang tak ternilai berupa hidupan liar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar