Rabu, 06 Mei 2009
DATA PRIBADI
Nama : RAFLI
Tempat/Tanggal lahir : Malaysia,14 Agustus 1985
Alamat : Jl. Umbansari Rumbai (Asrama Mahasiswa Univ Lancang Kuning)-Pekanbaru Riau
No. Handphone : 0812 68 66 73 67
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Pria
Warga Negara : Indonesia
Status : Belum Menikah
Keahlian Komputer : Microsoft Word dan Internet
PENDIDIKAN FORMAL
1. Sekolah Dasar Negeri 014 Siabu Bangkinang Barat –Kab.Kampar , Lulus Tahun 1998.
2. Sekolah ( MTS ) Pondok Pesantren Darun Nahdah Thawalid Bangkinang (PPDN-TB) Bangkinang –Kab.Kampar , Lulus Tahun 2002.
3. Sekolah ( ALIYAH ) Pondok Pesantren Darun Nahdah Thawalid Bangkinang (PPDN-TB) Bangkinang –Kab.Kampar , Lulus Tahun 2005
4. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Universitas Lancang Kuning Pekanbaru ( Masih Aktif Kuliah).
PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Kurus Komputer Microsoft word Propesional tanggal 12 Maret -20 April 2006 Di Lami Komputer Pekanbaru.
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Badan Eksektif Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning
2. Anggota Badan Legislatif Mahasisiwa Universitas Lancang Kuning .
3. Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning .
4. Tim TAGANA (BKS) Provinsi Riau
5. Resimen Mahasiswa Universitas Lancang kuning
Pekanbaru ,4 April 2009
R A F L I
Indotoplist.com : Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis)merupakan satu-satunya dari subspesies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Keberadaannya hingga saat ini semakin mengkhawatirkan. Kehilangan habitat dan mangsa (Bovidae dan Cervidae) menyebabkan satwa yang hidup di pulau sumatera ini semakin terancam keberadaannya. Saat ini diperkirakan berkisar 400-500 ekor yang masih tersisa di alam (Seidenstiker,1999).
Panjang Harimau Sumatera jantan dapat mencapai 2,2 – 2,8 meter, sedangkan betina 2,15 – 2,3 meter. Tinggi diukur dari kaki ke tengkuk rata-rata adalah 75 cm, tetapi ada juga yang mencapai antara 80 – 95 cm, dan berat 130 – 255 kg. Hewan ini mempunyai bulu sepanjang 8 – 11 mm, surai pada Harimau Sumatera jantan berukuran 11 – 13 cm.
Bulu di dagu, pipi, dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 cm (Direktorat Pelestarian Alam, 1986 ; Hafild dan Aniger, 1984 ; Kahar, 1997 ; Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973 ; Saleh dan Kambey, 2003 ; Sutedja dan Taufik, 1993 ; Suwelo dan Somantri, 1978 ; Treep, 1973)
Belang harimau sumatra lebih tipis daripada subspesies harimau lain. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.
Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi rimba. Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan mereka mampu berenang cepat. Harimau ini diketahui menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan tersebut lambat berenang. Bulunya berubah warna menjadi hijau gelap ketika melahirkan.
A. Habitat:
Harimau Sumatera, seperti halnya dengan jenis-jenis harimau lainnya, adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas. Kondisi mutlak yang mempengaruhi pemilihan habitat seekor harimau adalah :
Adanya habitat dengan kwalitas yang baik termasuk vegetasi cover sebagai tempat berteduh dan beristirahat agar bisa terlindung dari dari panas dan sebagai tempat untuk membesarkan anak serta berburu.
Terdapat sumber air, karena satwa ini hidupnya sangat tergantung pada air untuk minum, mandi, dan berenang
Tersedianya mangsa dalam jumlah yang cukup.
Tipe lokasi yang biasanya menjadi pilihan habitat Harimau Sumatera di Indonesia bervariasi, dengan ketinggian antara 0 – 3000 meter dari permukaan laut, seperti :
Hutan hujan tropik, hutan primer dan sekunder pada dataran rendah sampai dataran tinggi pegunungan, hutan savana, hutan terbuka, hutan pantai, dan hutan bekas tebangan
Pantai berlumpur, mangrove, pantai berawa payau, dan pantai air tawar
Padang rumput terutama padang alang-alang
Daerah datar sepanjang aliran sungai, khususnya pada sungai yang mengalir melalui tanah yang ditutupi oleh hutan hujan tropis
Juga sering terlihat di daerah perkebunan dan tanah pertanian
Selain itu juga banyak harimau ditemui di areal hiutan gambut.
B. Makanan:
Harimau Sumatera termasuk jenis Carnivora yang biasanya memangsa : Rusa Sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus sp.), dan Babi hutan liar (Sus sp.). Kerbau liar (Bubalus bubalis), Tapir (Tapirus indicus), Kera (Macaca irus), Langur (Presbytis entellus),Landak (Hystrix brachyura),Trenggiling (Manis javanica), Beruang madu (Heralctos malayanus), jenis-jenis Reptilia seperti kura-kura, ular, dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan, dan kodok dan jenis-jenis satwa liar lainnya.
Hewan peliharaan atau ternak yang juga sering menjadi mangsa harimau adalah Kerbau, kambing, domba, sapi, Anjing dan ayam. Biasanya hewan-hewan ini diburu harimau bila habitat harimau terganggu atau rusak sehingga memaksa harimau keluar dari habitatnya ke pemukiman atau persediaan mangsa di alam bebas sudah habis atau sangat berkurang jumlahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3 – 6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6 – 7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1986 ; Mountfort, 1973).
Masa hidup seekor harimau adalah sekitar 10 – 15 tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya lebih lama lagi, dapat mencapai 16 – 25 tahun (Macdonald, 1986).
C. Reproduksi
Harimau merupakan satwa dengan tingkat perkembangbiakan yang cukup tinggi. Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3 – 4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4 – 5 tahun. Lama kehamilan harimau betina berkisar 102-110 hari Jumlah anak harimau pada sekali kelahiran jumlahnya berkisar antara 1 – 6 ekor, dan bahkan kadang-kadang lahir 7 ekor, tetapi dari jumlah tersebut yang mampu bertahan dan hidup sampai dewasa hanya dua atau tiga ekor saja. Harimau betina selama hidupnya dapat melahirkan anak dengan jumlah total sampai 30 ekor, dan setiap tahun dapat melahirkan anak. Jarak antar kelahiran kurang lebih 22 bulan, atau 2–3 tahun, tetapi dapat lebih cepat bila anaknya mati.
Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau memelihara anak. Home range untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60 – 100 km2. Tetapi angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti, karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3 – 4 kali lebih luas dibandingkan harimau betina. Di Way Kambas dalam 100 km2 di dihuni oleh 3 - 5 ekor harimau.
Harimau Sumatera merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di Pulau Sumatera saja. Sebelumnya, populasi Harimau Sumatera sangat banyak tersebar, mulai dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan, Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas.
Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai puluhan ribu ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor dan saat ini berkisar 500-600 ekor. Diperkirakan pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak paling tidak 30 ekor per tahun, dengan penyebab utama adalah : Konversi Hutan, Degradasi Habitat, Fragmentasi Habitat, Konflik Harimau dengan Manusia, Perburuan Harimau dan Mangsa.
D. Konservasi Harimau Sumatera Secara Komprehensif
Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis.
Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau sumatera mati akibat perburuan.
Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang sudah dianggap punah.
Menurunya populasi harimau Sumatera di alam disebabkan oleh banyak factor yang saling mempengaruhi dan terjadi secara simultan. Factor-faktor penyebab tersebut diantaranya, adalah:
Informasi dan pengetahuan di bidang bio-ekologi harimau sumatera masih terbatas.
Menurunnya kwalitas dan kwantitas habitat harimau sumatera akibat konversi hutan, eksploitasi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain
Fragmentasi Habitat akibat Perencanaan Tata Guna Lahan dan penggunaan lahan dan hutan yang kurang memperhatikan aspek-aspek konservasi satwa liar khususnya harimau sumatera.
Kematian harimau sumatera secara langsung sebagai akibat dari perburuan untuk kepentingan ekonomi, estetika, pengobatan tradisional, magis, olahraga dan hobby serta mempertahankan diri karena terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat.
Penangkapan dan pemindahan harimau sumatera dari habitat alami ke lembaga konservasi eksitu karena adanya konflik atau kebutuhan lain.
Menurunya populasi satwa mangsa harimau karena berpindah tempat maupun diburu oleh masyarakat.
Rendahnya unsur-unsur management pengelola konservasi harimau sumatera.
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam konservasi alam dan rendahnya penegakan hukum dibidang “Wildlife Crime” telah pula mempercepat penurunan populasi harimau sumatera di alam.
Untuk mencegah terjadinya kepunahan harimau sumatera dan memulihkan kembali populasi-populasi harimau yang berada pada tingkat tidak sehat ke tingkat populasi sehat diperlukan tindakan yang secara simultan dapat mengatasi faktor-faktor penyebab kepunahan harimau sumatera tersebut di atas.
Sumatera Tiger Conservation Program
Sebagai bentuk Kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan The Tiger Foundation Canada dan Sumatran Tiger Trust Inggris berupaya untuk mengembangkan program konservasi harimau sumatera yang secara komprehensip dapat mengatasi faktor-faktor penyebab menurunnya populasi harimau sumatera. Upaya konservasi yang dilaksanakan oleh Program Konservasi Harimau sumatera di antaranya adalah:
Melakukan studi bioekologi harimau sumatera.
Melakukan perluasan habitat harimau sumatera yang berada diluar kawasan konservasi sebagai kawasan yang dilindungi untuk konservasi harimau sumatera.
Meningkatkan kegiatan perlindungan harimau sumatera dan habitatnya.
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan konservasi alam dan meningkatkan kwalitas penegakan hukum dibidang ”Wildlife Crime”
Meningkatkan kwalitas penanganan konflik antara harimau dengan masyarakat yang dapat menjamin kelesatrian harimau sumatera.
Monitoring populasi harimau sumatera dihabitat alaminya dalam jangka panjang.
Meningkatan kwalitas sumber daya manusia dan kerjasama pengelolaan antara seluruh institusi yang berkepentingan terhadap kelestarian harimau sumatera.
Mengembangan Strategi Konservasi Harimau Sumatera di Masa Depan
E. Bioekologi Harimau Sumatera
Harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae (Pocock, 1929) secara taksonomi dalam biologi termasuk dalam :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Infra kelas : Eutheria
Ordo : Carnivora
Sub ordo : Fissipedia
Super famili : Felloidea
Famili : Felidae
Sub famili : Pantherina
Genus : Panthera
Spesies : Panthera tigris
Subspesies : Panthera tigris sumatrae
Selain Panthera tigris sumatrae masih terdapat tujuh subspesies lain yang juga termasuk dalam spesies Panthera tigris yaitu :
Harimau India atau Harimau Bengala (Panthera tigris tigris),
Harimau Siberia (Panthera tigris altaica),
Harimau Cina atau Amoy (Panthera tigris amoyensis),
Harimau Indo-Cina (Panthera tigris corbetti),
Harimau Kaspia (Panthera tigris virgata) yang punah sekitar tahun 1950,
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), terdapat di Jawa, Indonesia, dinyatakan punah sekitar tahun 1980, dan
Harimau Bali (Panthera tigris balica), terdapat di Bali dan dinyatakan punah tahun 1937.
F. Monitoring Populasi Harimau dan Habitatnya Jangka Panjang
Untuk mengetahui populasi, penyebaran dan pola aktivitas harimau sumatera di habitatnya, Program Konservasi Harimau Sumatera melaksanakan pemotretan dengan menggunakan Camera Infra merah.
Camera Inframerah dipasang ditempat-tempat lintasan harimau yang beroperasi selama 24 jam dalam jangka waktu tertentu. Secara otomatis camera akan memotret dan mencatat waktu setiap individu yang melewati lensa camera. Dengan demikian camera tidak saja akan memotret satwa harimau tetapi juga dan satwa mangsa harimau. Dengan menggunakan camera inframerah dalam jumlah yang cukup dan waktu yang lama, akan diperoleh data populasi dan penyebaran harimau sumatera dengan akurasi yang tinggi.
Harimau mati meninggalkan belangnya..............
Demikian pula untuk mengidentifikasi setiap individu harimau sumatera digunakan analisa pola loreng yang ada pada kulitnya, karena setiap individu harimau memiliki pola loreng yang berbeda dengan individu yang lain. Perbedaan pola loreng pada kulit harimau tersebut sama halnya dengan pola sidik jari manusia.
Selain dapat untuk mengidentifikasi individu harimau, hasil pemotretan dengan camera inframerah juga dapat digunakan untuk mengetahui pola aktifitas harian harimau sumatera, kepadatan dan keragaman jenis satwa mangsa juga keanekaragaman satwa liar lainnya. Pengembangan GIS dalam pengelolaan dan monitoring habitat dan penyebaran harimau sumatera juga menjadi bagian penting dalam kegiatan Program Konservasi Harimau Sumatera. Untuk itu secara periodik dilakukan pembaharuan data dan informasi sesuai perkembangan di lapangan.
G. Populasi Harimau Sumatera
Menurut catatan yang ada pada tahun 1800 – 1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak, mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan serta pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang otomatis berakibat pula pada populasinya. Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100 ekor hidup.
Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33 ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif harimau sumatera diperkirakan akan mengalami kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
Hasil survey dan monitoring populasi menggunakan kamera inframerah yang dilakukan dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data populasi sebagai berikut :
Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor, telah terpotret 44 individu,
Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor, telah terpotret 7 individu
Di Kawasan Hutan Senepis-Buluhala: 11-14 ekor, telah terpotret, 9 individu
H. Pengembangan Kawasan Perlindungan Harimau
Habitat alami harimau sumatera sudah mengalami degradasi dan terfragmentasi mejadi habitat-habita yang kecil. Demikian populasi harimau yang hidup di dalamnya sudah terpecah menjadi populasi-populasi kecil dan tersebar.
Populasi-populasi tersebut berada dalam status populasi yang sehat, populasi kurang sehat dan populasi tidak sehat serta populasi yang terpencil.
Untuk mengetahui status populasi dan kondisi habitat alami harimau yang tersebar Program Konservasi Harimau Sumatera melakukan identifikasi dan inventarisasi habitat dan populasi yang masih memungkinkan untuk diselamatkan. Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi habitat dan status populasi diprioritaskan pada Kelompok Hutan Bengalis (TCU 147), Kelompok Hutan Sungai Siak (TCU 149) dan Kelompok Hutan Sungai Kampar (TCU 150).
Selain itu Program Konservasi Harimau Sumatera juga memberikan bantuan teknis dan keahlian kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat yang akan memperluas, mengembangkan atau mengusulkan kawasan konservasi baru yang berfungsi pula sebagai habitat dan tempat perlindungan harimau sumatera.
Sampai dengan pertengahan Tahun 2005 kawasan hutan yang telah dilakukan study sebagai habitat penting harimau sumatera, adalah:
Kelompok hutan Sei Senepis-Buluhala di Kota Dumai yang terdapat dalam wilayah TCU 147
Kawasan Hutan Penyangga Bukit Tigapuluh di Kab.Tanjung Jabung Barat, Kab. Tebo di Propinsi Jambi dan Kab. Indragiri Hilir dan Kab. Kuantan Senggigi di Provinsi Riau.
Sebagian Kelompok Hutan Sungai Kampar (TCU 150) yang terletak di Kab. Pelalawan, Provinsi Riau.
H. Penanganan Harimau Bermasalah
Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan Program Konservasi Harimau Sumatera adanya pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan alam menjadi tanaman monokultur merupakan sumber terjadinya konflik antara harimau dengan masyarakat desa maupun tenaga kerja pembuka hutan di Kota Dumai dan sekitarnya.
Pembukaan areal hutan dan konversi hutan alam di Di Kota Dumai dan sekitarnya telah menyebabkan :
Menurunnya kwantitas, kwalitas dan daya dukung habitat terhadap harimau sumatera.
Menurunnya populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, kera dll oleh karena beralih tempat, mengungsi ke tempat yang lebih baik dan karena mati.
Tempat berlindung dan membesarkan anak menjadi hilang.
Teritorial harimau sumatera menjadi berubah.
Keadaan tersebut telah menekan harimau sumatera untuk mencari teritorial baru dan masuk ke pemukiman untuk mencari mangsa, sehingga telah menyebabkan konflik antara harimau dengan manusia. Dalam kurun waktu 1996 – 2004 lebih dari 152 kasus konflik harimau dengan masyarakat yang mengakibatkan lebih dari 25 orang meninggal dunia, puluhan orang luka-luka dan ratusan ternak milik masyarakat desa dimangsa oleh harimau. Kerugian yang di derita oleh masyarakat sekitar kelompok hutan senepis yang disebabkan oleh konflik harimau selama ini, diantaranya berupa :
Rasa Takut Yang Dialami oleh masyarakat
Korban Ternak Luka-Luka dan Mati
Korban Manusia Luka-Luka dan Meninggal
Belum adanya peraturan dan ketentuan tentang penetapan status harimau bermasalah serta belum adanya prosedur penanganan terhadap harimau bermasalah telah menyebabkan keragaman dalam penetapan dan penangana harimau bermasalah. Sebagian masyarakat melakukan tindakan sendiri dan tidak memperhatikan kaidah konservasi, yaitu dengan cara melakukan penangkapan dengan jerat bahkan sampai pada pembunuhan terhadap satwa tersebut. Kondisi seperti ini apabila tidak segera ditangani maka akan terjadi tindakan yang berulang-ulang dan dianggap benar. Selain itu penangkapan harimau bermasalah oleh oknum masyarakat tertentu sering disalahgunakan untuk melakukan pemburuan dan perdagangan harimau secara liar.
Penanganan harimau bermasalah yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan selama ini masih terbatas pada penangkapan dan memindahkannya ke Lembaga Konservasi Eksitu. Keadaan ini kurang menjamin kelestarian harimau sumatera di habitat alaminya.
Agar penanganan harimau bermasalah dapat lebih menjamin kelestarian populasi harimau sumatera di alam, Program Konservasi Harimau Sumatera sejak Tahun 2003 mengembangkan “teknis penangkapan dan pelepasliaran kembali ke habitat alami” bagi harimau penyebab konflik.
Untuk menghindari pengaruh buruk akibat penangkapan, maka diupayakan secepat mungkin harimau yang berhasil ditangkap dengan segera dilepaskan ke habitatnya tanpa penggunaan obat bius. Sampai dengan Bulan Juni Tahun 2005 telah berhasil dilepasliarkan kehabitatnya 4 (empat) ekor harimau bermasalah di Hutan Senepis
Untuk membantu tugas-tugas Departemen Kehutanan c.q Direktorat Jenderal PHKA dalam penanganan konflik harimau, Program Konservasi telah menyusun Rancangan Protokol Penanganan Konflik antara Harimau dengan Masyarakat.
Waldemar Hasiholan
Filed under: Info Penting - pamanahrasa @ 7:26 am
Pendahuluan
Sejak dahulu, harimau selalu dianggap oleh manusia sebagai satwa yang amat mengagumkan. Harimau juga merupakan karnivora tingkat tinggi yang secara tingkah laku fleksibel dan dapat berdaptasi dengan mudah terhadap perubahan bentang alam (Sunquist et al. 1999). Sebagai pemangsa khusus herbivore, harimau tidak pernah ditemukan jauh dari air namun memperlihatkan sifat adaptasi besar terhadap lingkungan tempat hidupnya dengan iklim yang berbeda-beda, mulai dari daerah tepi pantai hingga daerah dengan ketinggian 2000 meter (Seidenstictiker et al. 1999).
Populasi tertinggi harimau terdapat di Asia, di tanah berumput dan hutan membentuk mosaike. Meskipun penyesuaian ekologinya fleksibel, harimau terancam kritis di seluruh wilayah jelajahnya. Dalam 60 tahun terakhir, dua dari tiga anak jenis endemik harimau Indonesia (Panthera tigris) telah punah (Seidensticker et al. 1999). Harimau Bali (P.t. balica) dan harimau Jawa (P.t. sondaica) lenyap dari pulaunya masing-masing terutama karena penyusutan dan fragmentasi habitat secara drastic. Namun, bagaimanapun juga penurunan populasi mangsa yang telah kritis dan pembunuhan harimau secara langsung mungkin menjadi penyebab akhir kepunahan kedua anak jenis tersebut (Seidensticker 1987).
Anak jenis ketiga, harimau Sumatra (P.t.sumatrae) bertahan dalam populasi yang terisolasi dan terpecah-pecah di seluruh pulau Sumatra. Harimau Sumatra mengalami berbagai ancaman yang saat ini dihadapi jenis-jenis harimau lain di seluruh wilayah jelajahnya, seperti juga yang pernah dihadapi anak jenis Jawa dan Bali. Berbagai ancaman tersebut antara lain adalah penangkaran langsung untuk diambil bagian-bagian tubuh harimau dan obat tradisional, hilangnya satwa mangsa melalui kompetisi langsung maupun tak langsung dengan masyarakat setempat, konversi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat harimau dan mangsanya, serta meningkatnya konflik antara harimau dengan manusia yang memungkinkan pemindahan harimau-harimau bermasalah secara sah (Santiapillai dan Ramono 1987; Dinerstein et al. 1997; Seidensticker et al. 1999). Pengaruh kepadatan penduduk berakibat terhadap penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas tingkatan ancaman-ancaman tersebut terhadap keberadaan jangka panjang harimau Sumatra.
Semua populasi harimau menghadapi tekanan yang hebat akibat musnahnya habitat dan mangsa mereka serta adanya perburuan (Kitchner. 1999). Banyak jenis satwa mangsa harimau yang secara normal memanfaatkan areal tepi tersebut dihalangi oleh kepadatan penduduk yang tinggi di sekitar taman nasional dan akan makin mudah diserang untuk diburu di daerah perbatasan (O’Brient et al. 2002).
Analisa SIG menunjukan bahwa konversi hutan yang sangat berat terjadi di bagian tengah dan utara taman nasional, areal dengan kepadatan penduduk tinggi. Menurut O’Brient et al. (2002) dapat disimpulkan bahwa luas habitat di dalam TNBBS yang tersedia untuk mammalia besar, seperti harimau menyusut melebihi proporsi dan kehilangan habitat menyebabkan satwa liar lebih mudah di serang ditepi hutan.
Konversi hutan untuk perkebunan di perbatasan kawasan meningkat tajam sejak sepuluh tahun yang lalu; WCS memperkirakan 28% tutupan hutan telah hilang sejak tahun 1985. Dengan asumsi bahwa harimau membutuhkan tutupan hutan di TNBBS dan areal tebangan hutan mewakili habitat tepi maka perkiraan jumlah konservatif harimau 40 – 45 ekor di TNBBS (O’Brient et al 2002).
Usaha konservasi harimau diwilayah yang berubah secara konstan dan banyak dipengaruhi oleh manusia ini, mendorong kita untuk memahami batas dan kemapuan binatang (Sunguist et al 1999). Pada tahun 1992, Indonesia mulai meningkatkan upaya untuk melindungi harimau Sumatra. Pada tahun 1994 Indonesia mengembangkan strategi untuk konservasi harimau (Dep. Kehutanan 1994) yang mengamanatkan aksi berdasarkan pemahaman ekologi harimau secara menyeluruh, tetapi hingga saat ini masih sedikit penelitian mengenai status populasi harimau liar di Sumatra (Franklin et al 1994).
Pada bulan September 1998 WCS-IP menginisiasi survey harimau dan mamalia secara sistematik dengan menggunakan camera trap. Survey yang baru pertama kalinya dilakukan di TNBBS ini dilakukan dengan tujuan untuk memantau distribusi harimau Sumatra dan satwa mangsanya. Dalam memasuki tahun keenam, program konservasi harimau Sumatra telah berhasil mengestimasi kapadatan harimau Sumatra dan satwa mangsanya serta melihat pengaruh batas taman nasional terhadap kepadatannya. Memasuki tahun 2002, program konservasi menjadi lebih kuat dan terarah. Dalam laporan ini, program kelanjutan monitoring harimau Sumatra bertujuan untuk melihat perubahan pola distribusi antara 2002 dan 2003
Metode
Areal Penelitian
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan konservasi terbesar ketiga (3.568 km2) di Sumatra (Gambar 1). Berlokasi di ujung barat daya (40 31’ – 50 57’ LS) dan (1030 34’ – 1040 43’ BT), TNBBS terbentang dari propinsi Lampung ke Bengkulu merupakan hutan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatra dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air utama bagi Sumatra bagian barat dan selatan. TNBBS dibatasi oleh perkampungan, perkebunan tanaman pertanian dan kelapa sawit. Bentuknya yang tipis memanjang menciptakan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 km dan perambahan untuk penebangan dan perkebunan menjadi masalah utama. Dua jalan lintas membagi taman nasional di sebelah utara dan selatan (O’Brient dan Kinnaird 1996).
Camera Trapping
Kami melakukan survey harimau dan mangsanya dengan menggunakan camera trap (Cam Trakker South Inc. Watkinsville GA 30677). Kamera Cam Trakker menggunakan sensor infra merah pasif untuk mendeteksi panas tubuh dan pergerakan satwa yang melintas di depan sensor. Sensor terhubung pada kamera autofocus 35 mm dengan tempat menyimpan data pada kamera yang mencetak setiap foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Setiap unit di program untuk merekam gambar dengan selang waktu 45 detik dan beroprasi 24 jam/hari atau hingga film terpakai seluruhnya.
Kamera diletakan di dalam petak contoh seluas 10 km x 2 km memanjang dari batas kawasan/ hutan kearah dalam taman nasional untuk mendeteksi pengaruh potensial tepi kawasan terhadap mamalia. Masing-masing blok sampling di bagi menjadi 20 anak petak seluas 1 km2, dan koordinat UTM dipilih secara acak di dalam setiap anak petak. Satu buah camera trap diletakan pada lokasi yang optimal (sedapat mungkin pada jalur yang dipakai satwa) di dalam radius 100m dari koordinat UTM dengan menggunakan GPS Sylva (Multy Navigation aco 0007706) kamera dibiarkan dalam keadaan aktif 30 – 35 hari.
Independent event
Independent event adalah jenis satwa (individu atau kelompok) yang terekam di satu frame foto dalam satu rol film juga dalam satu blok sample. Untuk setiap jenis yang terfoto kemudian dihitung indeks biologinya berdasarkan jumlah foto independent per hari rekam. Hari rekam adalah jumlah periode 24 jam selama kamera aktif di dalam suatu petak sample.
Statistik
Untuk penghitungan data dengan statistik SPSS 11,5 (regresi )
Hasil
Sejak tahun 1998 hingga 2003 (sekarang), program konservasi harimau Sumatra dengan camera trap telah mencatat 40 jenis mamalia dari 19 Famili dan 7 jenis burung termasuk 5 jenis Famili Phasianidae dan 1 jenis herpetofauna (biawak Varanus sp).
Dari data yang dihasilkan terlihat bahwa kelimpahan relatif harimau tahun 2002 tertinggi berturut-turut di bagian selatan berkisar antara 0 - 0,03 foto/5596,92 hari rekam, utara antara 0 - 0,01 foto/5596,92 hari rekam` dan tengah berkisar antra 0 - 0,01 foto/5596,92. Sedangkan untuk kepadatan relatif harimau tahun 2003 terlihat perbedaan perolehan tertinggi dimulai dari bagian tengah berkisar 0 - 0,05 foto/5172,16 hari rekam, utara antara 0 - 0,04 foto/5172,16 hari rekam dan dibagian selatan kawasan antara 0 - 0,02 foto/5172,16 hari rekam.
Ditahun 2002 kami mendapat 6 foto harimau (P.t.sumatrae) di lokasi sample. Harimau (P.t.sumatrae) lebih sering terfoto di (bagian selatan) Pemerihan (4 ekor), 1 ekor di Way marang (tengah) dan 1 ekor di T. Iman (utara). Pada tahun 2003 kami mendapat foto harimau di Liwa (2 ekor), Rataagung (3 ekor), Pulau beringin (3 ekor), serta Way belambangan dan Way paya masing-masing (1 ekor). Ini berarti untuk tahun 2003 harimau lebih sering terfoto dibagian tengah dan utara kawasan.
Penyebaran harimau di tahun 2002 juga diikuti oleh penyebaran satwa mangsanya : beruk, babi hutan, kijang muntjac, tapir dan kuau raja dan landak, kalau dilihat di tahun 2003 jenis satwa mangsa yang mengikuti penyebaran harimau : beruk, tapir, babi, kijang muntjac, kuau raja, rusa sambar dan total moese deer (Tragulus napu & Tragulus javanicus).
Kelimpahan relatif satwa mangsa di seluruh taman nasional
Kami berhasil merekam 40 jenis satwa termasuk 9 jenis satwa mangsa harimau, dari semua hasil rekaman foto tersebut kami juga mengidentifikasi beberapa jenis mangsa potensial lainnya seperti satwa : ayam hutan, kuau kerdil Sumatra, sempidan Sumatra, puyuh dan juga satwa pengerat : rindil bulan dan bajing tetapi kami tidak memasukannya kedalam analisis karena satwa tersebut kecil (umumnya kurang dari 1 kg).
Dari table (1) kelimpahan satwa mangsa tahun 2002 dapat dikatakan kelimpahan relatif satwa mangsa berkisar : kuau raja 0,1 – 0,22 foto/5596,92 hari rekam, monyet ekor panjang 3,36 – 10,67 foto/5596,92 hari rekam, total mouse deer 0,01 – 0,06 foto/5596,92 hari rekam, kijang muntjac 0,26 – 0,59 foto/5596,92, babi 0,11 – 0,23 foto/5596,92 hari rekam, beruk 0,12 – 0,32 foto/5596,92 hari rekam, landak 0,19 - 0,26 foto/5596,92 hari rekam, tapir 0,04 – 0,13 foto/5596,92 hari rekam dan rusa sambar 0,06 – 0,28 foto/5596,92 hari rekam. Untuk kelimpahan relatif satwa mangsa pada tahun 2003 berkisar : kuau raja 0,11 – 0,62 foto/ 5172,16 hari rekam, total mouse deer 0,01 – 0,14 foto/5172,16 hari rekam, kijang muntjac 0,07 – 0,82 foto/5172,16, babi 0,04 – 0,91 foto/5172,16 hari rekam, beruk 0,11 – 0,39 foto/5172,16 hari rekam, landak 0,1 - 0,99 foto/5172,16 hari rekam dan tapir 0,03 – 0,11 foto/5172,16 hari rekam.
Jenis satwa mangsa harimau di tahun 2002 total mouse deer sedikit terekam di blok utara dan tidak terdata di blok tengah sementara rusa sambar sedikit terekam di bagian tengah dan tidak terdata di blok utara. Untuk jenis satwa mangsa harimau tahun 2003 di blok tengah sangat sedikit jenis mangsa yang terekam : babi, kijang muntjac, total mouse deer dan landak sedang bagian utara jenis satwa yang sedikit terekam total mouse deer.
Dari hasil perhitungan kelimpahan relatif harimau menunjukan korelasi positif dengan kelimpahan relatif kijang muntjac (R2 = 0,861 ; t = 6, 591 ; df = 1,7 ; P < 0,001) artinya penyebaran kijang muntjac sebagai satwa mangsa harimau sesuai atau diikuti oleh penyebaran harimau sebagai pemangsa, sekaligus dapat dikatakan pola tersebut menggambarkan bahwa kelimpahan dari jenis satwa mangsa lainnya menurun atau tidak diikuti pola penyebaran harimau sebagai satwa pemangsa (predator) di tahun 2002. Untuk tahun berikutnya (2003), setelah dilakukan penghitungan ternyata data kelimpahan relative harimau terhadap kelimpahan relatif satwa mangsanya tidak dapat dikomputasikan ini disebabkan banyak data satwa mangsa yang kurang di banyak blok sample dan hal ini yang mempengaruhi perhitungan secara statistik. Beberapa alasan lain yang dapat mendukung seperti dalam penggunaan metode random, titik peletakan kamera sering menjadi tidak maksimal (tidak terdapat jalur satwa atau habitat yang telah rusak) sehingga menyebabkan beberapa jenis satwa kelompok sering berada diluar areal survey utama.
Kelimpahan relatif harimau dengan jenis kucing lainnya
Dari data kelimpahan relatif harimau dan jenis kucing lainnya (table 3) dapat kita lihat di tahun 2002 penyebaran harimau dari utara ke selatan terlihat tidak terpengaruh dengan adanya penyebaran dari jenis kucing lainnya seperti : macan dahan, kucing emas dan kucing kuwuk. Ini berarti keberadaan jenis kucing lain bagi harimau dapat dikatakan tidak berpengaruh atau tidak terlihat adanya kompetisi baik terhadap pakannya dan juga terhadap daerah jelajahnya, karena antara harimau dan diantara jenis-jenis kucing lain ada pembagian ruang dan waktu yang jelas untuk menjelajah, mencari makan, berpasangan dan kawin. Demikian kalau kita lihat data dari table (3) tahun 2003 penyebaran harimau cukup merata di daerah utara, tengah dan selatan TNBBS.
Pembahasan
Dari data yang dihasilkan tahun 2002 penyebaran harimau tertinggi bermula dari sample bagian selatan, utara kemudian ke tengah, dan untuk data tahun 2003 penyebaran harimau tertinggi dimulai dari sample tengah kemudian ke utara dan berakhir di selatan. Dan kami tidak menemukan adanya perbedaan – perbedaan yang nyata pada kelimpahan relatif harimau dari selatan, tengah dan utara kawasan TNBBS.
Kelimpahan relatif harimau tahun 2002 menunjukan nilai korelasi positif dengan jenis satwa mangsanya yaitu kijang muntjac sehingga dapat dikatakan pola penyebaran harimau di TNBBS mengikuti pola sebaran satwa mangsanya, sedangkan ditahun 2003 kami tidak dapat menemukan korelasi antara harimau dan satwa mangsanya, sehingga kami tidak dapat mengatakan bahwa pola penyebaran harimau di TNBBS juga mengikuti pola penyebaran satwa mangsanya.
O’Brient et al (2002) mengatakan kelimpahan relatif harimau terhadap jumlah kelimpahan relatif babi dan rusa sambar adalah bermakna dan positif (RA harimau = 0,019 + 0,043 (RA babi + rusa sambar), T = 3.72, P = 0,045). Efek tepi adalah nyata untuk kijang muntjac (F7,36 = 2.71, P = 0.023) dan kancil (F7,36 = 3.312, P = 0.008). Kedua jenis tersebut lebih banyak dijumpai pada jarak 0 – 1 km dari batas kawasan, namun juga sering dijumpai di daerah contoh dengan kepadatan penduduk rendah. Karanth dan Sunquist (1995) berpendapat satwa pemangsa besar akan memilih, satwa mangsanya yang lebih besar pola pemangsaan yang tidak selektif pada hutan tropika mungkin disebabkan oleh kelangkaan satwa mangsa besar.
Masih ada pola pembagian ruang dan waktu yang baik diantara 6 jenis keluarga kucing (Panthera tigris sumatrae, Neofelis nebulosa, Felis marmorata, Felis bengalensis, Felis viverinus dan Felis temmincki) di TNBBS, walaupun terlihat hanya beberapa jenis kucing (Neofelis nebulosa, Felis temmincki, Felis marmorata dan Felis bengalensis) yang mengikuti pola penyebaran harimau didalam blok sample dari selatan, tengah dan utara.
Dari data independent event (2002 & 2003), ditemukan harimau dalam satu lokasi (Rataagung & Liwa) juga dalam satu no film dengan jenis kucing lainnya (kucing emas dan macan dahan) tetapi tidak pernah dalam tanggal yang sama. Pola pembagian ruang dan waktu antara jenis kucing masih jelas terlihat, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan sosial seperti bergerak, istirahat, berburu mangsa, makan, berpasangan, kawin dan mengasuh anak, sebab secara umum harimau jantan mempunyai daerah teritori yang dipertahankan dari jantan lainnya, namun jantan lain diperbolehkan untuk melewatinya. Brahmachary (1979) harimau menandakan daerahnya dengan bau-bauan dari air seninya (urine) dan cakaran. Sehingga penandaan teritori dengan tanda berupa bau-bauan dari air seni (urine) dan cakaran oleh harimau dengan prilaku ini maka pola pembagian ruang dan waktu bagi jenis kucing lainnya bertambah jelas.
Pengaruh kepadatan penduduk berakibat dengan penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas hilangnya habitat, faktor tambahan ini juga memicu hilangnya harimau berikut beberapa jenis satwa mangsanya di TNBBS selain dari perburuan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat lokal dan oleh pemburu professional yang juga melibatkan aparat penegak hukum. Woodrooffe dan Gisberg 1998 (dalam O’Brient et al. 2002) menyatakan bentuk TNBBS yang tipis memanjang mempermudah akses penduduk ke dalam taman nasional dan memungkinkan harimau untuk bergerak di sepanjang perbatasan dimana resiko penangkapan meningkat, lebih lanjut dikatakan banyak jenis satwa mangsa harimau yang secara normal memanfaatkan areal tepi tersebut dihalangi oleh kepadatan penduduk yang tinggi di sekitar taman nasional dan akan makin mudah diserang untuk diburu di daerah perbatasan.
Kesimpulan
1. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kelimpahan relatif harimau dari selatan ke utara, dan juga secara umum penyebaran harimau masih diikuti oleh pola penyebaran satwa mangsanya.
2. Masih ada pembagian ruang dan waktu (niche ekologi) antara harimau dan jenis kucing lainnya di dalam kawasan TNBBS, dengan bukti terekamnya foto harimau dengan jenis kucing lainnya (kucing emas dan macan dahan) dalam satu no film di satu lokasi sample.
3. Menghentikan dan menindak bagi siapa yang melakukan pembukaan lahan di dalam kawasan TNBBS baik untuk ladang, pertanian maupun tempat tinggal, karena pembukaan hutan secara liar akan membuat satwa liar khususnya harimau dan satwa mangsanya akan terpecah – pecah dan akan mengakibatkan terjadinya konflik satwa liar dengan manusia.
4. Menghentikan dan menindak bagi siapa saja yang melakukan perburuan harimau dan satwa mangsanya di dalam kawasan TNBBS, karena melindungi harimau berikut satwa mangsanya berarti kita mempunyai investasi yang tak ternilai berupa hidupan liar.
1.1 Latar Belakang
Peningkatan kualitas calon sarjana kehutanan akan senantiasa señalan dengan meningkatnya pemahaman mahasiswa terhadap berbagai teori kehutanan yang telah didapatkan dibangku kuliah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk itu adalah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengamati, menganalisa dan mempraktekkan secara langsung kegiatan pengelolaan hutan di lapangan.
Pengelolaan hutan tanaman khususnya di pulau sumatera dikelola oleh perusahaan – perusahaan swasta yang berbeda, akan tetapi di pulau jawa, pengelolaannya dilakukan oleh satu perusahaan BUMN yaitu Perum Perhutani. Pada garis besarnya, terdapat perbedaan dalam permasalahan pengelolaan hutan di jawa dan di luar jawa, baik yang mencakup aspek – aspek manajemen hutan, teknologi hasil hutan maupun konservasi sumber daya hutannya.
Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka peningkatan pemahaman calon sarjana kehutanan terhadap teori dan permasalahan kehutanan secara menyeluruh, serta untuk memperluas wawasan berpikir mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning, maka kepada mahasiswa diwajibkan melaksanakan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Perum Perhutani letaknya di wilayah Jawa barat yaitu Bandung Utara.
1.2 Tujuan Kegiatan PUPH
Tujuan kegiatan Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Perum Perhutani ini adalah agar mahasiswa :
1. Mengenal dan memahami kegiatan pengelolaan hutan di Perum Perhutani secara menyeluruh, seperti : Perencanaan, Pembinaan Hutan, Pemanenan Hasil Hutan, Penyaradan dan Pengangkutan, Pengelolaan hasil, Pemasaran, Administrasi / Tata Usaha Kayu dan Hasil Hutan lainnya serta Perlindungan Hutan.
2. Meningkatkan kemampuan dalam mengambil kesimpulan / keputusan secara ilmiah terhadap permasalahan yang terdapat di lapangan berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku.
3. Menumbuhkan etos kerja didalam lingkungan kehutanan dan kehidupan rimbawan.
II. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten adalah sebuah BUMN yang diberi hak oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan di Propinsi Jawa Barat dan Banten berdasar Prinsip Perusahaan dan sebagai Perusahaan
Umum (Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 2003). Salah satu bagian di dalamnya adalah KPH Bandung Utara yang wilayah pengelolaannya meliputi kawasan hutan di wilayah Bandung bagian utara. KPH Bandung Utara dalam pengelolaannya terbagi menjadi 4 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yaitu BKPH Cisalak, BKPH Padalarang, BKPH Lembang dan BKPH Manglayang Barat.
Perum Perhutani adalah sebuah perusahaan yang memiliki sifat untuk dapat memberikan manfaat bagi masyarakat / rakyat sekaligus memiliki sifat sebagai perusahaan yang beraktifitas untuk mendapatkan keuntungan.
Pada masa sebelum tahun 2003, pengelolaan kawasan hutan di KPH Bandung Utara hanya memprioritaskan pada fungsi ekologi, dengan pendekatan cenderung berorientasi pada sektor keamanan sedangkan interaksi masyarakat terhadap hutan masih lemah. Pendekatan tersebut tidak mampu melindungi kelestarian fungsi hutan, dimana seiring dengan menurunnya tingkat perekonomian masyarakat terjadi perambahan hutan dimana-mana. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan hutan selanjutnya harus memperhatikan aspek ekonomi dan aspek sosial selain aspek ekologi.
a. Letak Geografis
KPH Bandung Utara terletak di wilayah Kawasan Bandung Utara, secara Geografis Kawasan Hutannya dibatasi oleh :
1. Bagian Utara : Berbatasan dengan wilayah kerja KPH Purwakarta
2. Bagian Timur : Berbatasan dengan wilayah kerja KPH Sumedang
3. Bagian Selatan : Berbatasan dengan wilayah kerja KPH Garut dan KPH Bandung Selatan
4. Bagian Barat : Berbatasan dengan wilayah kerja KPH Bandung Selatan dan KPH Cianjur
b. Kondisi Tanah
Keseluruhan wilayah KPH Bandung Utara merupakan daerah perbukitan dan pegunungan (Pegunungan berapi/ vulkanik). Sedangkan jenis tanah menurut peta tanah tinjauan Propinsi Jawa Barat tahun 1966 yang telah diperbaharui oleh Seksi Pengukuran dan Perpetaan Biro Perencanaan Unit III Jawa Barat tanggal 19 Juni 1994, jenis tanah kawasan KP Pinus Bandung Utara sebagai berikut :
a. Wilayah Bagian Hutan Gn. Sanggarah :
Komplek Regosol kelabu dan Litosol, Andosol coklat, terdapat di Kolompok Hutan Gn. Tangkuban Perahu.
Asosiasi Andosol coklat dan Regosol coklat terdapat di Kelompok Hutan : Tangkuban Perahu, Burangrang Selatan, Burangrang Utara
Latosol coklat terdapat di Kelompok Hutan : Gn.Sususru, GN.Sarengseng, Pasir Keraton, Haur Seah, Sela Gombong
b. Wilayah Bagian Hutan Gn. Karamat :
Kelompok Regosol kelabu terdapat di Kelompok Hutan Gn.Salak
Regosol coklat kemerahan terdapat di Kelompok Hutan : Bukanagara dan Cangak kadaka
Asosiasi Andosol coklat dan Regosol coklat terdapat di Kelompok Hutan : Bukanagara, Cangak kadaka, Manglayang/ Pulosari, dan Bukit Tunggul
c. Iklim
Wilayah hutan KPH Bandung Utara terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas, pada beberapa tempat disekitar wilayah hutan terdapat beberapa Stasiun Penakar Hujan. Dari data stasiun tersebut dapat diketahui adanya bulan basah, bulan lembab dan bulan kering.
Menurut Schmidt & Ferguson type iklim pada wilayah KP. Pinus KPH Bandung Utara termasuk ke dalam iklim type C dengan curah hujan berkisar 1.800 mm – 3.000 mm per tahun.
d. Tanah dan Tegakan
Pada umumnya jenis tanah menurut peta De Jongh dan Monh merupakan
tanah campuran dari bahan yang sudah hancur dengan merjel (tanah liat
krawang), mempunyai kesarangan tanah yang sedang samapai baik, kecuali
tanah-tanah bekas, tanah garapan, tumpang sari yang pada akhirnya turun
SK Gebernur Nomor : 522 Tahun 2002 tentang pelarangan tumpang sari di
lahan Perhutani di Hutan lindung. Tegakan hutan sebagian besar masih
merupakan hutan alam sekunder, sebagian peninggalan dari kawasan hutan
partikelir Pamanukan – Ciasem yang antara lain terdiri dari jenis kayu, Huru,
Jamuju, Saninten, Puspa, kihiur, Riung Anak, Tunggeurek dan lain-lain.
e. Administratif Pemerintahan
Kawasan hutan yang berada dalam pengelolaan Perum Perhutani KPH Bandung Utara berada di Wilayah Administrasi Pemerintahan Propinsi Jawa Barat dan terbagi dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung (seluas 12.636,93 ha), Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta (seluas 365,36 ha) dan Kabupaten Daerah Tingkat II Subang (seluas 7.528,07 ha).
III. KEGIATAN PRAKTEK YANG DILAKSANAKAN
3.1 Hutan Jati
3.1.1 Perencanaan Hutan
Perencanaan Hutan adalah tahap awal dari kegiatan yang merupakan piranti analisa dan strategi sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna serta sekaligus sebagai tolok ukur dengan memperhatikan perkiraan akibat perencanaan terhadap kondisi mendatang. Sistem perencanaan kehutanan adalah tatanan perencanaan yang merupakan keterpaduan berbagai jenis rencana di bidang kehutanan dengan segala kaitannya baik kaitan sektoral maupun kaitan kewilayahan yang saling mendukung, saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga terwujud suatu totalitas yang serasi dan harmonis.
Dilihat dari jenis dan cakupannya, rencana kehutanan Perum Perhutani dapat dibedakan menjadi Rencana Umum Perum Perhutani, Rencana Kelestarian Pengelolaan Hutan dan Rencana Teknik Tahunan.
1. Perpetaan
a. Pengenalan macam-macam peta
Peta yang dibuat dan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan sangat bervariasi, baik segi penggunaan peta maupun tujuan peta itu sendiri. Adapun macam-macam peta antara lain :
- peta kelas hutan, skala 1 : 25.000
- peta KPH, skala 1 : 100.000
- peta perusahaan, skala 1 : 10.000
- peta bonita, skala 1 : 25.000
- peta baku, skala 1 : 10.000
- peta letak hutan, skala 1 : 10.000
- peta kelas perusahaan, skala 1 : 100.000 dan 1 : 200.000
- peta geologi, skala 1 : 100.000 dan 1 : 200.000
- peta tanah dan peta detail, skala 1 : 100.000 dan 1 : 200.000
- peta hujan, peta resort polisi hutan dan peta jalan angkutan, skala 1 : 100.000
- peta lapangan, skala 1 : 10.000
b. Identitas dan ciri peta
Identitas dan ciri peta sangat mutlak diperlukan agar mempermudah dalam pelaksanaan kegiatan, misalnya dengan melihat identitas dan ciri peta dapat secara singkat mengetahui dan mengerti isi peta.
Adapun symbol dan singkatan yang dipakai pada peta antara lain : batas hutan, batas anak petak, alur, SA/HW (suaka alam dan hutan wisata), HL (hutan lindung), KU I s/d KU II (kelas umur 1 s/d kelas umur 2), KU III s/d KU IV (kelas umur 3 s/d kelas umur 4), MB (masak tebang), MR (miskin riap), HAP (hutan alam pinus), TJBK (tanaman jati bertumbuhan kurang) dan lain sebagainya.
2. Kelas Hutan
Kawasan Hutan KPH Bandung Utara memiliki Kelas Perusahaan (KP) Pinus dan terbagi menjadi 2 (dua) Bagian Hutan (BH), yaitu Bagian Hutan Gunung Sanggarah dan Bagian Hutan Gunung Karamat.
Tabel 1. Pembagian Kawasan Hutan KPH Bandung Utara menurut Fungsinya
- Berdasarkan penjabaran Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003, tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa Barat, kawasan hutan Bandung Utara sebagian besar telah dijadikan kawasan Hutan Lindung. Sebagai gambaran, luas hutan lindung di KPH Bandung Utara adalah 16.176,15 Ha atau 79 % dari total luas 20.560,36 Ha.
Gambar 1. Diagram Pembagian Fungsi Kawasan Hutan (Sk Menhut No.195/Kpts-II/2003)
- Berdasarkan kriteria Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan Blok Perlindungan (Lereng > 25%) serta Blok Pemanfaatan (Lereng ≤ 25%), Kawasan Hutan Lindung KPH Bandung Utara terbagi sebagai berikut :
Tabel 2. Luas Kawasan Lindung KPH Bandung Utara
- Potensi Sumberdaya Hutan
Tabel 3. Kondisi Potensi SDH Berdasar Hasil Audit Tahun 2006
Perum Perhutani KPH Bandung Utara memiliki kawasan hutan dengan Kelas Perusahaan jenis Pinus. Berdasarkan hasil audit SPH III tahun 2006 diketahui bahwa potensi dalam kawasan hutan untuk tegakan jenis Pinus maupun TKL (jati) dan TJKL (rimba camp) sangat di dominasi oleh tanaman muda (KU I dan KU II).
Tabel 4. Kondisi Tegakan Jenis Jati dan Pinus Berdasar Kelas Hutan (KU)
Dari Tabel 4 dapat di lihat bahwa Hutan Produksi KPH Bandung Utara untuk 3 tahun ke depan belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penghasilan perusahaan karena saat ini didominasi oleh tanaman muda. Luas sebaran tegakan pada kelas Umur I (KU I) untuk jenis Jati dan Pinus mendominasi seluas 58% dari total luas 2.780 Ha. Sementara itu sesuai Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Lindung tidak dapat diusahakan secara maksimal karena lebih dititik beratkan sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, sehingga tidak dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap penghasilan perusahaan.
3. Pal Batas
Pengamatan Pal batas yang dilakukan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten khususnya di RPH Cipendeuy ada beberapa macam, diantaranya pal B yang digunakan sebagai batas antara kawasan hutan perum perhutani dengan tanah milik. Pal batas pada umumnya berbentuk bulat, dengan tinggi ± 1 m. Pal batas terbuat dari beton yang dicat warna putih pada bagian atasnya.
Gambar 2. Contoh pal batas B yang ada di RPH Cipenduey
Angka 86 pada gambar diatas menunjukkan no petak, sedangkan tanda panah yang ada menunjukkan arah pal batas selanjutnya.
3.1.2 Pembinaan Hutan
1. Persemaian
Kegiatan pembinaan hutan yang dilaksanakan di RPH Raja Cipenduey adalah pengamatan persemaian. Persemaian yang terdapat di RPH Cipenduey adalah persemaian sementara. System Pengelolaannya dibiayai oleh swadana masyarakat sekitar hutan. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis mahoni dan albizzia.
Persemaian yang ada kurang terawat dengan baik, hal ini disebabkan kurangnya perhatian dari perum sendiri, khususnya dalam hal pendanaan dan pendampingan dilapangan.
2. Kegiatan Tumpang Sari
Di RPH Cipenduey kegiatan tumpang sari tidak dilaksanakan lagi, hal ini disebabkan umur tanaman yang telah mencapai 21 tahun (tanaman tahun 1997), sehingga kegiatan tumpang sari sudah tidak diperbolehkan lagi.
3. Penjarangan
Pada saat kegiatan PUPH dilaksanakan, kegiatan penjarangan telah selesai dilaksanakan. Kegiatan praktek yang dilaksanakan hanya mengamati areal bekas penjarangan, seperti mengamati Pohon tengah dan tonggak sisa penebangan.
Gambar 3. Pohon tengah
Data-data yang terdapat pada pohon tengah antara lain :
- No. Petak
- No. PCP
- Peninggi (P)
- Umur pohon pada saat penjarangan
- Bonita (Bon)
- Banyaknya pohon normal (Nn)
- Banyaknya pohon dalam PCP
- Banyaknya pohon penjarangan normal (Nmn)
- Banyaknya pohon penjarangan dalam PCP (Nmp)
- Jarak antar pohon normal (Jn)
- Jarak antar pohon dalam PCP (Jp)
Penjarangan dilaksanakan pada umur 10 tahun pertama. Kriteria pohon yang dijarangi adalah pohon-pohon yang terkena penyakit, pohon yang kurang baik pertumbuhannya, pohon tertekan, pohon mati dan pohon yang patah atau tumbang (Lihat dilampiran 2 .contoh lembar petak coba penjarangan).
3.1.3 Perlindungan Hutan
Kegiatan perlindungan hutan adalah kegiatan mengamankan hutan baik dari hama penyakit, pencurian kayu maupun penanggulangan kebakaran.
RPH Cipendeuy telah melaksanakan kegiatan perlindungan hutan ini, diantaranya pembuatan pos polter dan pemasangan papan pengumuman.
Gambar 4. Sarana dan prasarana perlindungan hutan
3.1.4 Pemanenan Hasil Hutan
Kegiatan pemanenan hasil hutan yang terdapat di RPH Cipendeuy adalah kegiatan tebangan penjarangan, sedangkan tebangan yang berasal dari target tebangan belum bisa dilaksanakan, ini disebabkan belum adanya tanaman yang mencapai usia masak tebang (akhir daur).
3.1.5 Kehutanan Masyarakat
Kehutanan masyarakat yang berkembang di RPH Cipendeuy adalah penanaman tanaman karet pada areal kritis dan areal – areal yang jenis lain tidak bisa tumbuh di areal tersebut.
System pengelolaan dan penyediaan tenaga kerja diserahkan kepada koperasi masyarakat yang telah bekerjasama dengan pihak perum perhutani dengan system bagi hasil.
Sampai dengan saat kegiatan PUPH dilaksanakan, kebun karet yang dibangun telah menghasilkan dan bisa disadap getah karetnya. Adapun besaran bagi hasil yang disepakati adalah 70 % untuk perhutani, 20 % untuk koperasi dan petani dan 10 % untuk lembaga desa setempat.
Gambar 5. Kebun karet salah satu bentuk hutan kemasyarakatan
3.2 Hutan Pinus
3.2.1 Pembinaan Hutan
a. Pembuatan Anakan Pinus
Di RPH Cisalak jenis persemaian yang ada adalah persemaian non permanent. Bibit pinus berasal dari biji yang yang berasal dari Areal Produksi Benih (APB).
- Pemilihan biji
Biji-biji yang telah dikumpulkan kemudian diberi perlakuan pendahuluan yaitu direndam selama 7 s/d 12 jam dengan air hangat kuku . Kemudian baru dipisahkan antara biji yang terapung dan yang tenggelam. Biji yang baik adalah biji yang tenggelam sedangkan biji yang jelek adalah yang terapung.
- Pembuatan Bak Tabur
Sebelum biji ditabur, perlu dibuat Bak Tabur yang terbuat dari papan yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan benih. Di sekelilingnya dialiri air dan kasa nyamuk untuk menghindari semai dari gangguan predator seperti semut, jangkrik dan belalang. Biji disemaikan selama 1 minggu.
Di bagian atas bedeng tabur dengan kedalaman 1 cm dengan jarak larikan 2 cm lalu ditutup dengan pasir steril dan diberi potongan daun pinus diatasnya, hal ini bertujuan agar kelembaban lebih terjaga dan melindungi biji dari terpaan air hujan yang berlebihan.
Sedangkan untuk media digunakan campuran pasir dan tanah yang mengandung miccorhiza dengan perbandingan 6 : 4.
- Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada pagi hari dan sore hari dengan menggunakan sprayer.
b. Penyapihan dan Penanaman
Setelah biji yang ditabur berkecambah (kurang lebih 12 hari), baru dilakukan penyapihan. Criteria benih siap sapih adalah benih yang telah berwarna merah pada bagian batangnya. Penyapihan dilaksanakan selama 20 hari di bedeng sapih. Setelah itu dipindahkan ke polybag sampai ketinggian benih mencapai tinggi 25 s/d 30 cm (10 bln) baru dilakukan penanaman dilapangan. Jarak tanam awal adalah 3x3 m.
Gambar 6. Persemaian Pinus
Gambar 7. Struktur Proses Produksi Persemaian Pinus
3.2.2 Pemanenan Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu
Kegiatan Pemanenan Hasil Hutan yang dilakukan di RPH Cisalak adalah penyadapan getah pinus. Ada dua macam system penyadapan getah pinus yang diterapkan di Perum Perhutani Unit III yakni sistem Rill dan sistem Kuare , Khusus pada RPH Cisalak, sistem yang dipergunakan adalah sistem Rill dan system Kuare. Sistem ini lebih cocok bila diterapkan di areal hutan lindung sebab tidak banyak merusak pohon pinus sehingga kelestarian pohon pinus bisa terjaga. Sedangkan kelemahannya adalah getah yang dihasilkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan sistem kuare.
1. Penyadapan Metode Riil
Kegiatan penyadapan getah pinus dengan sistem rill adalah sebagai berikut :
a. Alat – alat yang digunakan
Alat – alat yang dipergunakan terdiri dari : Pembersih kulit (bark shaver), Mal sadap (blaze frame), Alat pemberi tanda sadapan (marking gauge), alat pembuat saluran tengah (groove cutter), pisau sadap (freshening knife), talang sadap (lips), Mangkuk penampung getah (pats), pengeruk getah, dan bor serta alat penunjang lainnya seperti palu, paku, alat semprot (sprayer) dan ember plastic.
Gambar 8. Alat Sadap Metode Rill
b. Persiapan penyadapan
- Pembersihan lapangan sadapan
Sebelum melakukan penyadapan, lapangan / areal sadapan harus dibersihkan dari perdu dan semak, agar memudahkan para pekerja dan petugas untuk mengadakan pengawasan. Penomoran pohon ditentukan pada ketinggian 200 cm.
- Pembersihan kulit
Pohon yang akan disadap harus dibersihkan kulitnya terlebih dahulu dengan alat pembersih kulit (bark shaver) tanpa melukai kayu. Permukaan kulit yang dibersihkan berukuran 30 x 70 cm pada ketinggian 10 cm dari permukaan tanah dan harus benar – benar rata dan halus tanpa adanya alur kulit.
- Pembuatan pola sadap
Pola sadap dibuat dengan menggunakan mal sadap (blaze frame) pada kulit yang sudah dibersihkan. Selajutnya memberikan tanda sadap dengan alat pemberi tanda sadap (marking gauge). Pola sadap dibuat untuk menetapkan letak saluran tengah dan letak dimana luka sadapan harus dibuat. Sudut antara garis vertical dan garis miring sebesar 40°.
c. Pelaksanaan Penyadapan
- Pembuatan saluran tengah (central grove)
Dalam tahun pertama sadapan, pembuatan saluran tengah dimulai dari bawah menuju keatas. Sedangkan untuk tahun berikutnya pembuatan dimulai dari atas dan ditarik kebawah. Saluran tengah dibuat dengan menggunakan Groove cutter pada bagian tengah pola sadapan. Lebar saluran tengah 10 mm, kedalaman 3 mm dan tinggi 60 cm.
- Pembuatan saluran sadap
Saluran sadap dibuat menggunakan pisau sadap (freshening knife) dimulai dari ujung terbawah saluran tengah mengikuti tanda saluran sadap yang telah dibuat. Kedalaman saluran sadap ± 2 mm dan jarak antar saluran 5 cm.
Gambar 9. Pembuatan saluran getah
- Pemasangan talang sadap
Talang sadap dipasang pada pohon dengan paku, kemudian ditekuk keatas dan bagian tengahnya ditekan dengan menggunakan palu agar masuk kedalam saluran tengah, dengan demikian getah dapat tertampung melalui talang.
- Pemasangan batok penampung
Dibawah talang sadap dipakukan dua buah pasak dari bambu atau kayu untuk dudukan batok penampung getah. Secara berkala batok penampung getah ini harus dinaikkan letaknya supaya tidak terlalu jauh dengan luka sadap yang baru.
Gambar 10. Pemasangan batok penampung
- Perlakuan saluran sadap dengan stimulansia
Untuk meningkatkan produksi getah pinus maka setelah saluran sadap dibuat, stimulansia harus disemprotkan pada saluran sadap. Untuk mendapatkan semprotan yang baik, botol plastik harus dipegang dengan sudut 45° terhadap pohon dan jarak antara ujung penyemprot dengan pohon / saluran sadap ± 15 cm. Dan penyemprotan stimulansia pada setiap luka sadap baru sebanyak ± 1 cc. Pemberian stimulansia disesuaikan dengan kondisi tinggi setempat. Untuk keperluan 1000 ml (1 liter) stimulansia digunakan komposisi sebagai berikut :
Tabel 5. Komposisi Stimulan
Konsentrasi Volume yang diperlukan (ml)
% H2SO4 HNO3 Air
10
15
20
25
30
27
40,5
54
67,5
81
35
52,5
70
87,5
105
938
907
876
845
814
Keterangan : H2SO4 teknis = 97 % (konsentrasi / kepekatan)
Keterangan : HNO3 teknis = 97 % (konsentrasi / kepekatan)
- Peludangan getah dan pembersihan dari saluran getah
Mangkok/tempurung diambil dan getah dituangkan dalam ember plastik. Getah yang masih melekat pada mangkok atau tempurung harus dibersihkan dengan bantuan pengeruk getah (pat scraper)
Pada setiap perludangan getah, saluran tengah harus dibersihkan dengan pembersihan saluran tengah (groove cleaner), untuk mencegah penumpukan getah pada saluran.
- Frekuensi pembaharuan sadapan
Pembaharuan sadapan dilaksanakan 6 hari sekali.
Gambar 11. Penyadapan Getah Pinus dengan Metode Rill
d. Pelaksanaan Penyadapan Tahun berikutnya
Untuk penyadapan sadapan tahun berikutnya dimulai dari ujung atas saluran tengah tahun sebelumnya dan semua langkah yang yang dikerjakan pada tahun sebelumnya diulangi lagi, dengan mal sadap 20 x 65 cm.
Apabila sadapan telah mencapai pada ketinggian 180 cm, maka sadapan selanjutnya harus dialihkan mulai dari bawah lagi dengan jarak 5 cm (dari bidang sadap) disamping sadapan pertama dan seterusnya.
2. Penyadapan Pinus Metode Kuare
Kegiatan penyadapan getah pinus dengan sistem rill adalah sebagai berikut :
a. Alat – alat yang digunakan
Alat – alat yang digunakan adalah : petel sadap/kadukul, keruk setal, parang, talang seng, tempurung, kaleng/drum pengutan getah, batu pengasah, minyak tanah, penutup tempurung, paku.
b. Persiapan Penyadapan
- Pembersihan Lapangan sadapan
Sebelum dilakukan penyadapan lapangan / areal sadapan harus dibersihkan dari perdu dan semak-semak, agar sinar matahari dapat langsung menyinari pohon pinus dan memudahkan para pekerja dan petugas untuk melaksanakan pengawasan.
c. Pembersihan Kulit Pohon Pinus
- Pada bagian batang yang akan di sadap kulitnya harus dibersihkan / dikerok setebal 3 mm, lebar 15 cm dan tinggi 60 cm.
d. Pembuatan Rencana Kuare / Mal Sadap
- Bagan kuare (mal sadap) dibuat tepat di tengah-tengah pohon dengan
ukuran lebar 6 cm, tinggi 60 cm dan kedalaman 1,5 cm dengan alat
berbentuk garpu melengkung dengan dua dua sisi tajam dengan
permukaan permulaan setinggi 20 cm dari tanah, kemudian baru
disemprot CAS.
e. Pemasangan talang dan tempurung.
- Talang dipasang menempel pada bagian batas bawah kuare dengan
menggunakan paku dan kayu sebagai talamgnya.
f. Sadapan lanjutan
Sadapan lanjutan harus dilakukan tepat waktu denganketentuan yaitu : 3 hari
sekali bila tidak menggunakan CAS dan 5 hari sekali bila menggunakan
CAS.
3.2.3 Kehutanan Masyarakat
Kegiatan kehutanan masyarakat yang ada di RPH Cisalak adalah penanaman kopi disela sela pohon pinus dengan sistem banjar harian. Mengingat masa panen kopi yang membutuhkan waktu yang lama, maka masyarakat sekitar hutan mensiasatinya dengan menanam buah-buahan cepat berbuah seperti pisang, alpukat, sayur-sayuran dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pihak perhutani juga bekerjasama dengan koperasi masyarakat untuk penyiapan tenaga kerja penyadapan getah pinus.
Gambar 12. Tanaman kopi disela pohon pinus
3.3 Industri Hasil Hutan
3.3.1 Keadaan Umum Pabrik
Kegiatan penyadapan getah Pinus yang merupakan kegiatan ekploitasi non kayu di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat sudah mulai dilaksanakan sekitar 25 tahun yang lalu. Pada awal-awalnya getah Pinus yang diproduksi dikirim dan diolah oleh PT.Maruha Karya Sari (PT.MKS) yang merupakan perusahaan swasta sehingga sifatnya merupakan bentuk kerjasama pengolahan.
Melihat potensi hutan Pinus di Jawa Barat waktu itu, maka pada tanggal 27 Agustus 1991 didirikan Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi berlokasi di Desa Nagreg Kecamatan Nagreg, Kab. Bandung yang diresmikan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Lokasi dapat dilihat pada peta berikut :
Gambar 13. Peta PGT Sindangwangi
PGT.Sindangwangi tersebut dibangun untuk menampung dan mengolah produksi getah Pinus dari 12 (dua belas) KPH yaitu :
1. KPH Bogor 7. KPH Garut
2. KPH Sukabumi 8. KPH Tasikmalaya
3. KPH Cianjur 9. KPH Ciamis
4. KPH Purwakarta 10. KPH Kuningan
5. KPH Bandung Utara 11. KPH Majalengka
6. KPH Bandung Selatan 12. KPH Sumedang
Secara garis garis besar instalasi PGT.Sindangwangi terdiri dari beberapa komponen antara lain : sumber tenaga listrik (PLN & Genset), sumber pemanas/tenaga uap (mesin boiler) dan instalasi proses produksi (bak getah, tangki melter, tangki settler, tangki washer, tangki penampung, tangki ketel pemasak, tangki terpentik,instalasi IPAL)
IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) pada PGT.Sindangwangi telah dilaksanakan sesuai dengan SOP (Standard Operasional Prosedur) dimana air limbah yang keluar dari proses produksi telah benar-benar tidak akan mengakibatkan pencemaran lingkungan disekitar PGT.Sindangwangi, sehingga tetap menjaga kebersihan lingkungan.
PGT.Sindangwangi memiliki kapasitas masak + 10.000 ton getah/tahun. Selama berdirinya sampai 13 tahun hanya pada tahun 1994 pernah mencapai kapasitas produksinya. Tidak tercapainya kapasitas produksi tersebut disebabkan karena berbagai kesulitan/kendala dalam pelaksanaan pemungutan getah di lapangan (tenaga kerja, topografi, curah hujan dll.)
Gambar 14. Pelaksanaan Mutu ISO 9001 = 2000 di PGT SindangWangi
Dalam perkembangannya, karena adanya persaingan pasar dunia maka pada tahun 1998 Perum Perhutani Unit III mulai membangun System Management Mutu yang mengacu pada SMM ISO 9002, pada bulan Juni tahun 2000 telah dinyatakan LULUS dan berhak atas sertifikat ISO 9002 : 1994 dari MALQA (Afiliasi TRADA-UNITED KINGDOM).
Selanjutnya pada tanggal 30 April 2004 Sertifikasi ISO untuk PGT.Sindangwangi berhasil meraih Sertifat ISO 9001:2000 dari MALQA (Afiliasi TRADA – UNITED KINGDOM) sebagai peningkatan dari versi sebelumnya.
Dengan keberhasilan PGT.Sindangwangi meraih sukses implementasi ISO merupakan tantangan positif Perum Perhutani Khususnya KBM Industri untuk selalu berusaha meningkatkan produktifitas sehingga mampu bersaing dengan pabrik-pabrik penghasil gondorukem dari pasar dunia.
3.3.2 Prosedur pengolahan getah pinus
Getah pinus yang berasal dari 12 KPH yang tersebar di seluruh wilayah jawa barat diterima di PGT Sindang Wangi. Kemudian dilakukan pengujian be rupa berat, kadar air dan kotoran.
Gambar 15. Gudang Penerimaan Getah dari 12 KPH
Gambar 16. Pengujian Getah Pinus
Setelah lulus tes tersebut, getah pinus kemudian masuk dan ditumpahkan ke Bak Getah.
Gambar 17. Bak Getah
Jaring-jaring yang terdapat dipermukaan Bak Getah diatas berfungsi sebagai penyaring awal kotoran terutama kotoran –kotoran yang berukuran besar yang terdapat pada getah pinus.
Secara garis besar, proses pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
Gambar 18. Alur Pengolahan Getah Pinus
Getah yang telah masuk di Bak Getah kemudian dialirkan ke Melter. Pada bagian ini, getah pinus diencerkan dengan mencampur getah pinus dengan terpentin sebanyak 1000 liter dan dipanaskan dengan suhu 180 ‘ c.
Gambar 19. Melter
Getah pinus yang telah cair kemudian dialirkan menuju Settler yang berfungsi untuk menampung getah pinus yang telah encer hasil pemrosesan getah pinus yang terjadi di Melter.
Gambar 20. Settler
Kegiatan selanjutnya adalah pencucian getah pinus yang dilakukan di Tangki Pencuci (Washer). Di tangki pencuci ini getah pinus dicuci untuk memisahkan gteh pinus dengan kotoran yang berukuran kecil yang masih terdapat pada getah pinus. Setelah kegiatan pencucian selesai, kemudian getah pinus ditampung kedalam tangki-tangki penampung
Gambar 21. Washer
Dari tangki penampung, getah dialirkan ke tangki pemasak untuk dimasak selama 24 jam untuk menghasilkan gondorukem dan terpentin. Terpentin terbentuk dari hasil penguapan yang terjadi selama proses memasak getah pinus. Uap yang dihasilkan tersebut dialirkan ke tangki pendingin (Condensor) dan berubah menjadi cairan yang kemudian dipisahkan antara cairan terpentin dan air yang dilakukan di tangki Separator. Setelah itu, terpentin yang telah terpisah dari air ditampung kedalam tangki-tangki persediaan terpentin.
Gambar 22. Tangki Pemasak dan Separator
Untuk proses Gondorukem sendiri langsung dialirkan kedalam kemasan-kemasan khusus gondorukem yang telah disiapkan sambil dilakukan pengujian untuk menentukan mutu gondorukem yang dihasilkan.
Gambar 23. Penampungan Gondorukem dan Pengujian Gondorukem
3.3.3 Pengolahan Limbah
Limbah hasil pengolahan getah pinus menjadi gondo rukem telah diolah dengan sistem IPAL. IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) pada PGT.Sindangwangi telah dilaksanakan sesuai dengan SOP (Standard Operasional Prosedur) dimana air limbah yang keluar dari proses produksi telah benar-benar tidak akan mengakibatkan pencemaran lingkungan disekitar PGT.Sindangwangi, sehingga tetap menjaga kebersihan lingkungan.
Limbah hasil pengolahan tersebut ada yang masih bisa diolah kembali dan ada yang tidak. Limbah yang masih bisa diolah dialirkan kembali dan mengalami proses seperti diatas, tetapi limbah yang tidak bisa diolah akan langsung dibuang kesaluran-saluran pembuangan yang telah dibuat.
Gambar 24. Bak Pengolahan Limbah Getah Pinus
3.3.4 Pemasaran Produk Gonorukem & Terpentin
Gambar 25. Alat Transprotasi Pengangkutan Gondorukem dan Terpentin
Gambar 26. Proses Pemasaran
Produk gondorukem dan terpentin PGT Sindangwangi di Ekspor ke berbagai penjuru dunia seperti : Singapura, Jepang, India, USA, Kanada, Spanyol, Nigeria, dll. Produk tersebut diolah lagi sebagai bahan industri untuk pembuatan kertas, sabun, tekstil, tinta cetak, bahan isolasi listrik, lem, dll.
IV. PERMASALAHAN DAN PEMECAHAN MASALAH
4.1 Hutan Jati
4.1.1 Permasalahan di Lapangan
Permasalahan yang dijumpai dilapangan antara lain :
- Sarana dan prasarana yang sangat minim dan kurang lengkap, seperti pos keamanan yang kurang terawat, kendaraan patroli yang tidak ada, sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
- Tidak tersedianya persemaian yang permanen di RPH Cipendeuy
- Pencurian kayu jati oleh oknum masyarakat
- Keterbatasan tenaga pengamanan hutan yang terdapat di RPH Cipendeuy.
- Kegiatan kehutanan masyarakat yang berkembang hanya berupa pembangunan kebun karet.
- Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di daerah RPH Cipendeuy menimbulkan polusi udara dan tanah.
4.1.2 Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang telah dan akan dilakukan antara lain :
- Rencana pembangunan Sarana dan Prasarana, seperti pos keamanan yang kurang terawat, kendaraan patroli yang tidak ada, sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan.
- Masyarakat sekitar hutan membangun persemaian dengan swadaya dan swadana untuk menunjang kegiatan Perum perhutani dan dapat menambah penghasilan masyarakat
- Kegiatan penyuluhan dan patroli digalakkan demi terjaganya keamanan dari para oknum masyarakat, selain itu juga diciptakan lapangan pekerjaan berupa penyediaan lahan bagi masyarakat untuk bertani dan bersawah demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Perum Perhutani berencana menambah personil tenaga pengamanan hutan yang terdapat di RPH Cipendeuy .
4.2 Hutan Pinus
4.2.1 Permasalahan di Lapangan
Permasalahan yang dijumpai dilapangan antara lain :
- Wilayah RPH Cisalak yang sebagian besar berupa pegunungan dengan ketinggian diatas 1300 m diatas permukaan laut yang rawan terjadinya tanah longsor.
- Tidak tersedianya persemaian yang permanen di RPH Cisalak
- Pencurian kayu pinus oleh oknum masyarakat untuk bahan bakar.
- Keterbatasan tenaga pengamanan hutan yang terdapat di RPH Cisalak.
- Kegiatan kehutanan masyarakat yang dikembangkan berupa penanaman kopi baru dilaksanakan, sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk kopi tersebut berbuah dan dapat di panen. Pihak perhutani kesulitan untuk mencari bagaimana jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama menunggu masa panen buah kopi.
- Getah pinus yang dihasilkan oleh RPH Cisalak mengandung kadar air yang paling tinggi bila dibandingkan dengan RPH diwilayah lain.
- Keterbatasan tenaga pengamanan hutan.
4.2.2 Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang telah dan akan dilakukan antara lain :
- Saat ini wilayah RPH Cisalak telah ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga kegiatan berupa eksploitasi hasil hutan hanya boleh dilakukan pada pemanenan getah pinus dengan sistem Rill yang terbukti mengurangi kerusakan pohon pinus.
- Kegiatan penyuluhan dan patroli digalakkan demi terjaganya keamanan dari para oknum masyarakat, selain itu juga disediakan lahan bagi masyarakat untuk bertani dan bersawah demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Sampai dengan saat ini, RPH Cisalak masih melakukan penelitian guna mencari cara untuk mengurangi kadar air yang sangat tinggi yang dikandung getah pinus yang berasal dari RPH Cisalak .
4.3 Industri Hasil Hutan
4.3.1 Permasalahan di Lapangan
Permasalahan yang dijumpai dilapangan antara lain :
- Bahan baku getah pinus yang diterima oleh PGT Sindang wangi mengandung kotoran dan kadar air yang sangat tinggi.
- Pasar gondorukem yang sangat terbatas dan tidak banyak tersedia baik didalam negeri maupun diluar negeri.
- Mutu gondorukem yang dihasilkan oleh PGT Sindang wangi terbatas hanya mutu ww, hal ini disebabkan permintaan pasar yang menghendaki mutu tersebut.
4.3.2 Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah yang telah dan akan dilakukan antara lain :
- Adanya pemotongan berat getah pinus yang diterima dari pemasok getah. Ini untuk mengurangi kerugian yang diderita PGT Sindangwangi.
- Sampai dengan saat PUPH dilaksanakan, masalah pasar gondorukem ini masih dicari jalan keluarnya.
- PGT Sindang wangi sebenarnya bisa menghasilkan mutu gondorukem sampai dengan mutu xx, namun karena pasar banyak yang menghendaki mutu gondorukem sampai dengan mutu ww maka pabrik lebih banyak memproduksi godorukem sampai dengan mutu ww guna memenuhi permintaan pasar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kegiatan PUPH dilaksanakan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten tepatnya di KPH Bandung utara. Untuk hutan jati PUPH dilaksanakan di RPH Cipendeuy termasuk dalam wilayah BKPH Padalarang, sedangkan untuk hutan pinus dilaksanakan di RPH Gunung Kramat yang termasuk kedalam wilayah BKPH Cisalak. Untuk kunjungan ke industri dilaksanakan di PGT Sindangwangi.
2. Kegiatan praktek pada hutan jati yang dilaksanakan yakni kegiatan Pembinaan hutan, Perlindungan hutan dan hutan kemasyarakatan. Kegiatan pemanenan hasil hutan baik berupa penjarangan ataupun penebangan terget tebangan tidak bisa dilaksanakan karena kegiatan penjarangan telah selesai dilaksanakan, sedangkan untuk penebangan target tebangan belum bisa dilaksanakan disebabkan belum ada jati yang berumur KU IV keatas.
3. Kegiatan praktek pada hutan pinus yang dilaksanakan yakni kegiatan pembinaan hutan, pembinaan hutan, pemanenan hasil hutan dan hutan kemasyarakatan. Kegiatan penyadapan getah pinus merupakan kegiatan unggulan dari Perum Perhutani Unit III, sehingga kegiatan praktek lebih dititik beratkan pada kegiatan ini.
4. kegiatan praktek pada industri hasil hutan yang dilaksanakan yakni pengamatan proses pengolahan getah pinus menjadi gondorukem dan terpentin.
B. Saran
Pemilihan waktu kegiatan PUPH sebaiknya disesuaikan dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani Unit III sehingga seluruh kegiatan praktek pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh perum perhutani dapat dilaksanakan seluruhnya.
Habitat Harimau Sumatera Kian Menyempit
Habitatnya kian menyempit
Habitat dari 400-500 harimau sumatera (panthera tigris sumatraensis) kian tergerus, sehingga harimau harus memperluas wilayah buruannya untuk mencari makan. Padahal, hal itu justru memperbesar risiko harimau berkonflik dengan manusia, seperti ditangkap, diburu, bahkan terbunuh.
Peneliti Harimau Sumatra dari Wildlife Conservation Society (WCS), Haryo Tabah Wibisono menjelaskan panjang lebar saat berdialog dengan Green Radio. Menurutnya, meskipun harimau sumatera termasuk satwa yang mudah beradaptasi, namun kerusakan habitatnya, dapat menyebabkan mereka akan terpisah-pisah menjadi komunitas yang kecil-kecil. Saat itu terjadi, maka harimau berisiko hidup lebih pendek, dibandingkan bila mereka ada dalam satu cakupan luas habitat yang bisa mencapai minimal 100 ekor.
GR (Green Radio): Saat ini, habitatnya dimana saja?
HTW (Haryo Tabah Wibisono): Hampir di seluruh Sumatera ada. Namun habitatnya sudah terpecah-pecah. Habitat besarnya ada di Bentang Alam Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Bentang Alam Bukit Sebelas. Dan terbesar ada di Aceh yaitu di kawasan Leuser. Ketiganya kini menjadi habitat utama bagi harimau sumatera, karena jumlahnya cukup besar mencapai lebih 100 ekor. Selain itu, ada 15 Bentang Alam lainnya dengan area lebih kecil, padahal di area seperti itu, harimau sumatera sulit untuk hidup panjang.
GR: Yang ada di Aceh, apakah populasinya cukup aman?
HTW: Saat ini belum bisa ditentukan jumlahnya. Kami sedang menjalankan kajian ilmiah terbaru untuk mengetahui jumlahnya, akan keluar pertengahan tahun ini. Ketiga habitat itu memiliki lebih dari 100 ekor. Bila merujuk dari kajian-kajian di tingkat global, kawasan yang memiliki lebih dari 100 ekor, bisa diperkirakan bertahan lebih dari 100 tahun.
GR: Jumlahnya 400-500 ekor itu akurat?
HTW: Itu merupakan estimasi yang dikeluarkan tahun 1994 berdasarkan kajian tahun 1992. Sekitar 400 ekor ada di
GR: Apa ancaman terbesar bagi populasi satwa langka ini?
HTW:
GR: Antara ancaman-ancaman tersebut, mana paling mengancam pemusnahan?
HTW: Dalam 10 tahun terakhir, perburuan menjadi penyebab langsung mematikan bagi harimau. Tapi sekitar
GR: Pemburuan masih terjadi?
HTW: Sulit diklarifikasi, karena tidak ada data pastinya. Diperkirakan di awal 2000, sebanyak 34 ekor diperdagangkan. Namun di lapangan, kita tahu pemburuan itu cukup tinggi. Konflik yang terjadi pun dimanfaatkan oleh pemburu untuk mendapatkan harimau, yaitu, membeli harimau yang ditangkap oleh masyarakat.
GR: Bagaimana mengurangi masalah konflik?
HTW: Bukan hal mudah untuk diselesaikan. Saat terjadi konflik, masyarakat cenderung menangkapnya lalu diserahkan ke kebun binatang. Itu hasil dari WCS dan lembaga-lembaga lain yang memberikan penyadaran ke warga, bahwa harimau adalah binatang dilindungi. Jika terjadi pertemuan biasa, harimau sumatera yang ditangkap warga, akan dibebaskan. Namun, kalau satwa itu telah memangsa manusia, biasanya akan ditangkap.
Konflik yang sering terjadi, kerap terpicu karena harimau sumatera itu memakan ternak warga. Agar terhindar dari masalah yang sama, kami memberikan pengetahuan ke warga, bagaimana mengelola ternak secara lebih baik, agar terhindar dari pemburuan harimau sumatera. Salah satunya adalah membangun kandang-kandang anti serangan harimau, seperti di Aceh dan Lampung.
GR: Lalu, tindakan pencegahan terhadap pemburuan?
HTW: Banyak sekali. Tapi kita yakin, tindakan pencegahan itu tak sebanding dengan volume perdagangan atau buruan terhadap harimau sumatera.
GR: Upaya konservasi yang dilakukan, apakah berhasil?
HTW: Banyak metode yang layak digunakan. Sayangnya, yang konsen menggunakannya hanya LSM international. Seharusnya pemerintah menjadi ujung tombak konservasi harimau sumatera. Memang saat ini cukup baik, tapi, tetap harus ditingkatkan.
Saat ini, WCS bersama beberapa lembaga international sedang melakukan penafsiran populasi harimau sumatera di seluruh wilayah Pulau Sumatera. Semoga hasilnya bisa diketahui pertengahan tahun ini.
GR: Terkait upaya pelestarian satwa ini, adakah negara lain yang juga melakukan konservasi?
HTW: kalo konservasi hanya ada di Sumatera. Sedangkan pembiakan ada di beberapa negara. Seperti November lalu, di Australia, lahir tiga ekor harimau sumatera.
GR: Saat ini, jumlah populasinya ratusan. Apakah ini bisa dianggap berhasil?
HTW: Belum bisa mengklaim berhasil, karena skema pemantauan populasinya kita belum punya. Itu kelemahan kita saat ini. Hanya bisa melihat indikasi-indikasi penurunan populasinya, tapi belum bisa mengklaim berapa persen.
GR: Berapa besar angka angka aman untuk populasinya?
HTW: Sulit menjawab itu. Misalnya, bila kita sebut 100 ekor, saat ini pun angka itu sudah dicapai dari tiga habitat utama tadi. Tapi, itu pun tidak bisa kita katakan cukup. Secara global, seluruh dunia ada 4000 harimau. Rencana untuk 10 tahun, minimal naik 50% atau menjadi 6000-7000 harimau. Angka itu dianggap sudah menjamin keberlangsungan hidup harimau tingkat dunia. Tapi untuk di Sumatera sendiri, perlu ditingkatkan kualitas habitatnya, sehingga angka 500 bila bertambah, mencapai jumlah yang dirasa cukup aman.
GR: Soal peningkatan jumlah habitat?
HTW: Jelas, tapi terbentur banyak kepentingan. Tapi, harimau itu termasuk hewan yang mudah beradaptasi dengan habitat baru. Dia bisa cukup nyaman hidup di habitat yang sudah terkonversi menjadi belukar, ada juga harimau bisa hidup di perkebunan. Banyak bukti harimau hidup diluar habitat.
Melihat kondisi itu, langkah yang diupayakan adalah mengajak pemegang konversi atau pihak swasta bersama-sama melindungi harimau sumatera. Karena secara fisik menambah luas habitatnya.
GR: Bagaimana sosialisasi kepada pengusaha itu?
HTW: Sudah diawali saat kita menyusun strategi dan aksi 2007 lalu. Pemda dan pengusaha kita libatkan. Dalam waktu dekat, kita mau adakan pelatihan pengelolaan harimau sumatera di kawasan konversi (sawit dan HPH).
GR: Adakah batasan ideal jarak aman habitat harimau dengan manusia?
HTW: Sangat tergantung pada ketersediaan sumber makan, air dan ancaman yang mungkin datang. Semakin sedikit makanan, maka makin luas habitatnya. Di bagian selatan
GR: Masa depan konservasi?
Banyak kalangan masih optimis, harimau sumatera bisa diselamatkan. Dengan catatan, stake holder harus merasa memiliki, sehingga membantu pelaksanaan konservasi. Rencana ke depan, akan dibangun koridor satwa, yang menjembatani dua habitat yang terpisah, tapi akan dilakukan dua tahun ke depan.